Rencana Status Istimewa Surakarta Tuai Kritik: Dianggap Tidak Mendesak dan Bebani Anggaran Negara
Wacana menjadikan Solo sebagai Daerah Istimewa Surakarta menuai berbagai tanggapan, terutama terkait urgensi dan implikasi finansialnya. Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, menilai usulan tersebut tidak sejalan dengan upaya efisiensi anggaran yang tengah digalakkan pemerintah pusat.
Armand menjelaskan bahwa perubahan status akan membawa konsekuensi anggaran yang signifikan. Layaknya Daerah Istimewa Yogyakarta, Surakarta akan menerima alokasi dana khusus di luar dana transfer daerah atau dana perimbangan. Dalam kondisi keuangan negara yang masih belum stabil, menurutnya, pemberian status istimewa ini akan menjadi beban tambahan.
"Di tengah upaya efisiensi anggaran, pemberian kekhususan atau keistimewaan akan berdampak pada keuangan negara," ujar Armand. Ia menambahkan bahwa usulan ini juga berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dari daerah lain yang memiliki sejarah serupa.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, juga mengungkapkan pandangan serupa. Menurutnya, tidak ada urgensi untuk membahas usulan ini mengingat Solo telah menjadi kota yang maju di berbagai sektor, seperti ekonomi, pendidikan, dan industri.
"Apakah relevan untuk saat ini? Solo sudah menjadi kota dagang, kota pendidikan, kota industri. Tidak ada lagi yang perlu diistimewakan," kata Aria Bima. Ia menambahkan bahwa Komisi II DPR tidak melihat urgensi dalam membahas isu ini.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sendiri telah menerima ratusan usulan pembentukan daerah otonom baru (DOB), termasuk beberapa yang menginginkan status daerah istimewa. Usulan Surakarta menjadi salah satu yang baru terungkap ke publik.