Upaya Pemakzulan Gibran: Analisis Hukum dan Tantangan Politik yang Kompleks
Upaya untuk memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dinilai menghadapi berbagai rintangan, baik dari aspek hukum maupun politik. Wacana ini, meskipun berpotensi menimbulkan gejolak politik, tidak serta merta dapat diimplementasikan secara hukum tata negara.
Sejumlah purnawirawan TNI telah mengusulkan kepada MPR RI untuk mencopot Gibran dari jabatannya. Namun, menurut pakar hukum tata negara, proses pemakzulan tidaklah sederhana. Terdapat sejumlah tahapan dan persyaratan yang harus dipenuhi, yang menjadikannya sebuah tantangan yang kompleks.
Landasan Hukum Pemakzulan
Pasal 7A UUD 1945 secara jelas mengatur mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Pemberhentian hanya dapat dilakukan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat, seperti:
- Pengkhianatan terhadap negara
- Korupsi
- Penyuapan
- Tindak pidana berat lainnya
- Perbuatan tercela
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden
Selain itu, pelanggaran hukum tersebut harus dibuktikan melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Proses ini memerlukan waktu dan pembuktian yang kuat.
Putusan MK Nomor 90 dan Implikasinya
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden sempat menjadi sorotan. Putusan ini memungkinkan Gibran, yang saat itu berusia 36 tahun, untuk maju sebagai calon wakil presiden. Meskipun putusan ini menuai kontroversi, secara hukum, putusan MK bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, putusan MK Nomor 90 sulit untuk dijadikan dasar pelanggaran hukum untuk memakzulkan Gibran.
Tantangan Politik Pemakzulan
Selain aspek hukum, proses pemakzulan juga diwarnai oleh dinamika politik yang kompleks. Pasal 7B UUD 1945 mengatur bahwa DPR harus mengusulkan pemakzulan kepada MPR, setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada MK untuk membuktikan adanya pelanggaran hukum.
Usulan DPR kepada MPR harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh 2/3 jumlah anggota DPR. Selanjutnya, rapat paripurna MPR harus dihadiri oleh 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.
Artinya, dibutuhkan konsensus politik yang kuat di antara anggota DPR untuk menyetujui adanya pelanggaran hukum sebelum mengajukan permohonan ke MK. Proses negosiasi dan tawar-menawar politik akan menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya pemakzulan ini.
Konsekuensi Politik dan Penggantian Jabatan
Jika Gibran dimakzulkan, pertanyaan besar adalah siapa yang akan menggantikannya sebagai wakil presiden. Menurut konstitusi, koalisi partai politik yang mendukung Gibran saat Pilpres 2024 berhak mengajukan nama pengganti. Hal ini tentu akan memicu perdebatan dan persaingan di antara partai-partai koalisi.
Keberadaan PDI-P sebagai partai dengan perolehan kursi terbanyak di DPR RI juga akan memengaruhi dinamika politik. PDI-P, meskipun tidak secara resmi menjadi bagian dari koalisi pemerintah, memiliki kekuatan politik yang signifikan.
Dengan mempertimbangkan aspek hukum dan politik yang kompleks, upaya pemakzulan Gibran dinilai tidak akan mudah. Meskipun tidak mustahil, tantangan yang dihadapi sangat besar.