Pengacara Jakarta Terjerat Hukum Kepemilikan Senjata Api Ilegal, Koleksi Sejak 2015
Seorang pengacara berinisial S, berusia 31 tahun, kini menghadapi proses hukum atas dugaan kepemilikan senjata api ilegal. Pihak kepolisian mengungkap bahwa S telah mengumpulkan beberapa senjata sejak tahun 2015, dengan berbagai jenis dan harga.
Kasus ini bermula dari insiden kecelakaan lalu lintas yang melibatkan S pada tanggal 24 April 2025. Saat dilakukan pemeriksaan, petugas menemukan sepucuk senjata api di saku jaketnya, yang kemudian memicu penyelidikan lebih lanjut.
Berdasarkan keterangan dari Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, AKBP Muhammad Firdaus, pembelian senjata pertama dilakukan pada tahun 2015. Kala itu, S membeli sebuah airsoft gun dari sebuah toko di Senayan Trade Center dengan harga Rp 3 juta. Setahun berikutnya, pada 2016, S kembali membeli senjata, kali ini senapan laras panjang jenis Diana 47 dari seseorang berinisial S di sebuah toko senapan di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Transaksi terakhir tercatat pada 24 April 2025, ketika S membeli senjata api Makarov kaliber 7,65 mm dengan harga yang cukup fantastis, yaitu Rp 30 juta.
Berikut rincian kepemilikan senjata api oleh tersangka S:
- 2015: Airsoft gun (Rp 3 juta, Senayan Trade Center)
- 2016: Senapan laras panjang Diana 47 (dari S, Pasar Baru)
- 2025: Senjata api Makarov kaliber 7,65 mm (Rp 30 juta)
Kendati ketiga senjata tersebut ditemukan dalam kondisi tidak berpeluru dan belum pernah digunakan, S mengklaim bahwa kepemilikan senjata tersebut adalah untuk tujuan membela diri. S mengaku pernah dua kali menjadi korban serangan orang tidak dikenal (OTK).
Atas perbuatannya, S kini dijerat dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Pasal 1 Ayat (1) tentang kepemilikan senjata api ilegal, yang ancaman hukumannya bisa mencapai seumur hidup atau penjara maksimal 20 tahun. Selain itu, S juga terancam dengan Pasal 112 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun, serta denda antara Rp 800 juta hingga Rp 8 miliar.