Ribuan Pekerja Migran Indonesia Jadi Korban Perdagangan Orang, Mayoritas dari Myanmar

Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) mengungkap data mengejutkan terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menjerat Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri. Dalam kurun waktu 2024 hingga 2025, sebanyak 1.235 Pekerja Migran Indonesia (PMI) berhasil dipulangkan ke tanah air setelah terindikasi menjadi korban TPPO di berbagai negara.

Negara-negara yang menjadi sumber utama pemulangan PMI korban TPPO antara lain Kamboja, Myanmar, dan Laos. Data menunjukkan adanya peningkatan signifikan jumlah PMI yang menjadi korban TPPO di Myanmar. Pada tahun 2024, tercatat 26 PMI dipulangkan dari Myanmar, namun angka ini melonjak drastis menjadi 698 orang pada tahun 2025. Secara keseluruhan, Myanmar menjadi negara asal pemulangan PMI korban TPPO terbanyak, mencapai 724 orang atau 58% dari total pemulangan. Kamboja menyusul dengan 473 orang (38,3%), dan Laos sebanyak 38 orang (3,1%).

Berikut rincian data pemulangan PMI korban TPPO:

  • 2024:
    • Kamboja: 391 orang
    • Myanmar: 26 orang
    • Laos: 22 orang
    • Total: 439 orang
  • 2025:
    • Kamboja: 82 orang
    • Myanmar: 698 orang
    • Laos: 16 orang
    • Total: 796 orang

Menteri P2MI, Abdul Kadir Karding, menyampaikan keprihatinannya atas temuan ini dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi IX DPR RI. Ia menyoroti lonjakan kasus TPPO yang melibatkan PMI di Myanmar sebagai perhatian utama. Selain pemulangan PMI korban TPPO, Kementerian P2MI juga mencatat upaya pencegahan keberangkatan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) yang berpotensi menjadi korban TPPO. Dari data tahun 2024 hingga 31 Maret 2025, sebanyak 7.701 CPMI berhasil dicegah keberangkatannya oleh KP2MI maupun BP3MI. Sebanyak 461 orang atau 6% dari jumlah tersebut hendak menuju Kamboja, Myanmar, dan Laos.

Modus operandi sindikat TPPO semakin beragam dan kompleks. Beberapa modus yang teridentifikasi antara lain:

  • Penyebaran iklan lowongan kerja palsu di media sosial.
  • Perekrutan tenaga kerja tanpa melalui perusahaan resmi.
  • Penampungan CPMI ilegal.
  • Pembuatan visa wisata dan tiket pulang-pergi untuk mengelabui petugas.
  • Penggunaan rute tidak langsung ke negara tujuan, seperti melalui Singapura, Malaysia, Thailand, atau bahkan jalur darat dan pelabuhan-pelabuhan tidak resmi.
  • Menggunakan kontrak kerja berbahasa asing yang tidak dimengerti oleh korban.
  • Memberangkatkan korban dalam kelompok kecil (2-3 orang) untuk menghindari deteksi.
  • Beroperasi di Indonesia dan luar negeri.

Karding menjelaskan, sindikat TPPO seringkali memanfaatkan visa wisata sebagai celah untuk mengirimkan korban ke negara tujuan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pihak imigrasi dan petugas terkait untuk mendeteksi calon korban TPPO. Sindikat juga semakin canggih dalam merekrut korban, bahkan menargetkan individu dengan tingkat pendidikan yang baik.

Menyikapi hal ini, Kementerian P2MI terus berupaya meningkatkan koordinasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk kepolisian, imigrasi, dan pemerintah daerah, untuk memberantas sindikat TPPO dan melindungi PMI dari praktik keji ini. Profiling calon PMI yang mencurigakan juga terus dilakukan untuk mencegah keberangkatan mereka secara ilegal.