Revisi UU TNI Diprotes, DPR: Gugatan ke MK adalah Hak Warga Negara

Gugatan terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) hasil revisi, yang diajukan oleh sejumlah mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi (MK), mendapat tanggapan dari Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono. Dave menyatakan bahwa pengajuan gugatan merupakan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia.

"Setiap warga negara memiliki hak untuk mengajukan gugatan kepada MK, tanpa terkecuali. Namun, perlu diingat bahwa ada mekanisme di MK untuk mengevaluasi kelayakan gugatan tersebut," ujar Dave di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (28/4/2025).

Dave menegaskan bahwa pihaknya menyerahkan sepenuhnya proses terkait gugatan tersebut kepada MK. Menurutnya, MK memiliki kewenangan penuh untuk mengadili dan memutuskan perkara gugatan tersebut.

"Kami tidak mempermasalahkan apakah gugatan tersebut layak atau tidak, karena itu adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Biarlah prosesnya berjalan sesuai dengan mekanisme yang berlaku," jelasnya.

Lebih lanjut, Dave menekankan bahwa DPR telah menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ia mempersilakan masyarakat untuk menempuh jalur hukum yang tersedia jika merasa tidak puas dengan hasil revisi UU TNI.

"Kami telah menyelesaikan tugas kami dan menjalankan fungsi kami. Jika ada pihak yang merasa tidak puas, mereka memiliki hak untuk menyampaikan pandangan dan aspirasi mereka melalui mekanisme yang tersedia," tegasnya.

Gugatan terhadap UU TNI hasil revisi ini diajukan oleh dua mahasiswa, Hidayatuddin dan Respati Hadinata, dengan nomor registrasi 58/PUU-XXIII/2025. Dalam permohonannya, mereka meminta MK untuk membatalkan UU tersebut dan menghukum Presiden serta para Anggota DPR. Mereka berpendapat bahwa pengesahan RUU TNI dalam rapat DPR bertentangan dengan pasal 27 ayat 1 dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Para pemohon beranggapan bahwa pembahasan revisi UU TNI tidak dilakukan secara transparan. Mereka juga menyoroti bahwa UU TNI tidak memberikan penjelasan yang detail mengenai penyelesaian konflik komunal.

Selain itu, para pemohon merasa berhak menuntut ganti rugi terkait pengesahan revisi UU TNI. Mereka beralasan bahwa sebagai pembayar pajak, hak konstitusional mereka telah dilanggar oleh pembentuk UU dalam proses pembahasan dan pengesahan revisi UU TNI yang dianggap tidak transparan dan tidak sesuai aturan.

Secara spesifik, pemohon meminta presiden untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 25.000.000.000. Mereka juga meminta MK untuk menghukum Pimpinan dan masing-masing Anggota Badan Legislasi DPR RI untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 5.000.000.000.