Tangis Gubernur Dedi Mulyadi di Puncak: Kesakralan Alam dan Martabat Leluhur Terusik

Tangis Gubernur Dedi Mulyadi di Puncak: Kesakralan Alam dan Martabat Leluhur Terusik

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, meluapkan emosinya berupa air mata saat melakukan penertiban lahan di kawasan Puncak, Bogor. Kejadian tersebut bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan cerminan keprihatinan mendalam terhadap kerusakan lingkungan dan penghinaan terhadap nilai-nilai luhur budaya Sunda. Di Kantor Wali Kota Bekasi, Jumat (7/3/2025), Dedi Mulyadi menjelaskan alasan di balik air matanya yang mengucur deras.

Bagi masyarakat Sunda, dan juga Jawa, gunung bukan sekadar bentang alam, melainkan simbol kesakralan, sumber kehidupan, dan inti dari identitas budaya. Dedi Mulyadi, yang mengaku memahami ajaran leluhur, menekankan pentingnya menghormati keberadaan gunung sebagai sumber mata air, lahan pertanian, dan penopang kehidupan manusia. Tradisi tumpeng, yang menjadi simbol ritual masyarakat Sunda dan Jawa, merepresentasikan filosofi ini; puncak tumpeng yang tunggal melambangkan gunung sebagai sumber kehidupan, sementara beraneka ragam makanan di bawahnya menggambarkan kelimpahan yang dihasilkan oleh alam.

"Gunung itu sakral, gunung itu dihormati," tegas Dedi Mulyadi. Ia menjelaskan bagaimana gunung menjadi sumber kehidupan, melahirkan mata air, danau, serta sawah yang menopang kehidupan masyarakat. Kerusakan lingkungan di kawasan Puncak, khususnya alih fungsi lahan yang dilakukan demi kepentingan komersial, dianggapnya sebagai penghinaan terhadap nilai-nilai luhur ini. Bukan sekadar kerusakan lingkungan, tetapi juga pelecehan terhadap budaya dan martabat leluhur.

Penertiban lahan di kawasan Puncak yang dilakukan Dedi Mulyadi berfokus pada empat tempat wisata yang diduga melanggar aturan alih fungsi lahan. Salah satu lokasi yang menjadi sorotan adalah Eiger Adventure Land di Megamendung, yang pembangunannya menimbulkan kekhawatiran akan dampak buruk terhadap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Pemandangan bangunan yang akan terhubung dengan Eiger Adventure Land melalui jembatan gantung, membuat Dedi Mulyadi merasa tersentak dan tak mampu membendung air matanya. Kejadian ini menunjukkan betapa besar keprihatinan Gubernur terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan Puncak.

Dedi Mulyadi mempertanyakan pihak-pihak yang memberikan izin pembangunan tersebut. Ia menuntut evaluasi menyeluruh atas izin tersebut dan mendesak agar regulasi yang memungkinkan kerusakan lingkungan seperti ini untuk segera direvisi. Tangis Dedi Mulyadi bukan hanya tentang kerusakan lingkungan semata, tetapi juga sebuah ungkapan keprihatinan mendalam terhadap hilangnya nilai-nilai luhur budaya dan penghinaan terhadap martabat leluhur.

Lebih lanjut, Gubernur menekankan perlunya kesadaran kolektif untuk menjaga kelestarian alam dan menghormati nilai-nilai budaya leluhur. Peristiwa ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak untuk bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan dan melestarikan warisan budaya untuk generasi mendatang. Penertiban lahan di Puncak merupakan langkah awal untuk mengembalikan kejayaan alam dan menjaga kelestarian budaya Sunda.

Catatan: Informasi ini didasarkan pada berita yang tersedia dan tidak mencakup informasi tambahan.