Keterbatasan Anggaran dan Teknologi: Tantangan TNI AL dalam Menjaga Kedaulatan Maritim Indonesia
Beban Utang BBM Hambat Operasional TNI AL
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi I DPR RI, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Muhammad Ali mengungkapkan kondisi memprihatinkan terkait anggaran operasional TNI AL. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah tunggakan pembayaran bahan bakar minyak (BBM) kepada PT Pertamina (Persero) yang mencapai angka fantastis, yakni Rp 3,2 triliun. Jumlah ini dinilai sangat membebani kemampuan TNI AL dalam menjalankan tugas-tugasnya.
KSAL menjelaskan bahwa kebutuhan BBM TNI AL memang lebih besar dibandingkan matra lainnya, mengingat banyaknya kapal dan alutsista yang harus terus beroperasi, bahkan saat tidak digunakan. Tunggakan BBM ini berdampak signifikan pada kegiatan operasional, sehingga KSAL berharap adanya solusi berupa penghapusan utang atau pengalihan harga BBM menjadi harga subsidi, seperti yang diberlakukan pada institusi Polri. Perbedaan perlakuan harga BBM ini menjadi perhatian serius bagi TNI AL.
Kekhawatiran atas Ketiadaan Alat Pendeteksi Kapal Selam
Selain masalah anggaran, KSAL juga menyoroti kelemahan dalam kemampuan deteksi kapal selam asing yang melintas di wilayah perairan Indonesia. TNI AL saat ini belum memiliki alat pendeteksi bawah laut (fixed detect sonar) yang memadai. Padahal, keberadaan alat tersebut sangat krusial untuk menjaga kedaulatan dan keamanan maritim Indonesia.
Saat ini, TNI AL masih mengandalkan Sistem Pusat Komando Angkatan Laut (Sispuskodal) Tahap I untuk memantau ancaman di laut. Namun, sistem ini belum mampu mendeteksi aktivitas di bawah laut. KSAL mengungkapkan bahwa pengawasan bawah laut saat ini masih berada di angka 0 persen. Pihaknya telah mengajukan pengadaan sensor deteksi bawah laut ke Kementerian Pertahanan (Kemenhan), namun belum terealisasi.
Respons DPR terhadap Kondisi TNI AL
Kondisi yang diungkapkan KSAL ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan anggota Komisi I DPR RI. Elita Budiati, salah seorang anggota Komisi I, mengungkapkan keprihatinannya atas kerentanan wilayah laut Indonesia akibat tidak adanya alat pendeteksi kapal selam. Menurutnya, sebagai negara maritim, Indonesia seharusnya memiliki kemampuan yang memadai untuk mengamankan wilayah perairannya dari ancaman bawah laut.
Elita Budiati menambahkan bahwa 65 persen wilayah Indonesia adalah laut, dan tanpa kemampuan deteksi kapal selam, Indonesia akan sangat rentan terhadap serangan dari bawah laut. Kondisi ini menjadi perhatian serius yang membutuhkan solusi segera dari pemerintah dan pihak terkait agar kedaulatan maritim Indonesia dapat terjaga dengan baik.