CPMI Korban PT NSP Malang Mengaku Alami Kerja Paksa dan Penganiayaan: Dokumen Pribadi Ditahan Perusahaan
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendampingi sejumlah korban calon pekerja migran Indonesia (CPMI) dari PT NSP Cabang Malang dalam menuntut penuntasan proses hukum terkait kasus yang menimpa mereka. Tuntutan ini disuarakan dengan harapan keadilan dapat ditegakkan atas dugaan tindak pidana yang dialami, termasuk penganiayaan, eksploitasi kerja, dan penahanan dokumen pribadi. Kasus ini sendiri telah memasuki ranah hukum, dengan aparat penegak hukum menyelidiki dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melibatkan operasional PT NSP Cabang Malang.
Tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, dan berkas perkara telah dilimpahkan dari kepolisian ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Malang untuk segera disidangkan. Dugaan praktik eksploitasi yang dilakukan perusahaan ini terungkap, di mana para CPMI dipekerjakan di sebuah warung yang dimiliki oleh suami salah satu petinggi perusahaan, dengan inisial RY, tanpa pemberian upah yang layak.
Salah seorang korban, dengan inisial L, yang berasal dari Palembang, menceritakan pengalaman pahitnya. Ia dan rekan-rekannya dipaksa bekerja sejak pukul 5 pagi hingga 10 malam tanpa mendapatkan imbalan yang sesuai. Perlakuan yang mereka terima dinilai tidak manusiawi dan menyerupai praktik perbudakan. Bahkan, L menuturkan bahwa ia pernah diminta untuk memotong bawang sebanyak 20 kilogram seorang diri tanpa upah.
Selain eksploitasi kerja, para korban juga mengeluhkan penahanan dokumen asli milik mereka oleh PT NSP Cabang Malang. Dokumen-dokumen penting seperti KTP, kartu keluarga, akta kelahiran, dan ijazah asli milik sekitar 47 orang CPMI masih ditahan oleh perusahaan. Hal ini tentu saja menghambat mereka untuk mencari pekerjaan lain dan memulai kehidupan yang lebih baik.
"Semua dokumen mereka tahan. Kalau masuk ke Hongkong, itu dari KTP, KK, akte kelahiran, ijazah, semua kami kasih asli. Sampai hari ini tidak diserahkan kepada kami," keluh L, menggambarkan betapa sulitnya situasi yang mereka hadapi.
Korban lain, R, yang berasal dari Malang, membenarkan bahwa para CPMI dipaksa bekerja di Warung RY dari pukul 06.00 hingga 23.00 WIB setiap hari tanpa mendapatkan kompensasi yang sepadan. Hal ini tentu saja melanggar hak-hak pekerja dan menunjukkan praktik eksploitasi yang sistematis.
"Saya pernah dipekerjakan di warung milik Pak RY. Kami bekerja selama 17 jam dan kita tidak diberi upah sama sekali," ungkap R, menambahkan bukti mengenai perlakuan tidak adil yang mereka terima.
Tidak hanya eksploitasi kerja, para CPMI juga diduga mengalami penganiayaan fisik dan verbal. Dewan Pertimbangan SBMI, Dina Nuryati, mengungkapkan bahwa salah satu korban, HA, yang berasal dari Malang, mengalami trauma mendalam akibat perlakuan yang diterimanya selama berada di penampungan. HA pernah diminta oleh penanggung jawab perusahaan, HNR, untuk melakukan tindakan merendahkan, seperti mencium air kencing anjing.
Dina menambahkan bahwa beberapa CPMI lainnya juga mengalami kekerasan fisik, termasuk pemukulan dan penyiraman mi panas serta air kopi. Tindakan-tindakan ini tentu saja tidak dapat dibenarkan dan melanggar hak asasi manusia.
"Kami mendesak agar proses hukum kasus penganiayaan terhadap korban HA dengan tersangka HNR, yang dilaporkan sejak November 2024, segera diselesaikan karena hingga kini sudah 6 bulan belum juga mencapai tahap P-21," tegas Dina, menunjukkan kekecewaannya atas lambatnya penanganan kasus ini.
SBMI berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Mereka telah menerima surat kuasa dari enam korban di wilayah Malang dan dua korban dari Banyuwangi dalam kasus serupa. Hal ini menunjukkan keseriusan SBMI dalam membela hak-hak para pekerja migran yang menjadi korban.
"Kami berharap aparat polisi, jaksa, dan hakim melihat dari prosesnya bagaimana teman-teman itu direkrut, ditampung, kemudian dipekerjakan secara eksploitatif. Indikasi kuat terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)," ujar Dina, menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah terhadap proses penempatan pekerja migran. Menurutnya, kasus perbudakan modern seperti ini seharusnya tidak terjadi lagi di era sekarang. Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap perusahaan-perusahaan nakal yang mengeksploitasi para pekerja migran.
"Kejadian dari Banyuwangi ke Malang, dari Palembang juga ke Malang, perekrutan terjadi. Sementara pemerintah pengawasannya seperti apa? Semakin panjang jalur yang dilalui, semakin banyak kerentanan yang dihadapi," ungkapnya, mengkritik kurangnya efektivitas pengawasan pemerintah.
Secara keseluruhan, para korban dan SBMI menuntut beberapa hal, termasuk penghukuman berat bagi para terdakwa HNR dan AB alias Ade, penangkapan RY atas dugaan eksploitasi dan TPPO, penyelesaian segera kasus penganiayaan HA, serta pengembalian seluruh hak korban, baik materiil maupun immateriil, termasuk dokumen asli tanpa biaya. Mereka berharap negara hadir untuk melindungi warganya dan memberikan keadilan bagi para korban TPPO.
Sebelumnya, polisi telah menetapkan seorang perempuan berinisial AB (34) sebagai tersangka dalam kasus TPPO CPMI. Pelaku yang berperan sebagai penjemput CPMI ini ditahan di Mapolresta Malang Kota. Kasi Humas Polresta Malang Kota, Ipda Yudi Risdiyanto, mengungkapkan bahwa pelaku AB, warga Blimbing, Kota Malang, berperan aktif dalam operasional PT NSP Cabang Malang dengan legalitas yang tidak lengkap. Kasus ini masih terus bergulir dan diharapkan dapat mengungkap seluruh jaringan pelaku TPPO serta memberikan keadilan bagi para korban.