Terlilit Mafia Tanah, Mbah Tupon Berjuang Selamatkan Asetnya
Nasib pilu menimpa Mbah Tupon, seorang warga lanjut usia (68 tahun) dari Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Ia terancam kehilangan tanahnya akibat praktik yang diduga dilakukan oleh mafia tanah. Ironisnya, sertifikat tanah yang seharusnya dipecah, justru dialihkan namanya menjadi milik orang yang tidak dikenal.
Kondisi semakin pelik, tanah milik Mbah Tupon kini telah diagunkan ke bank. Bahkan, pihak bank telah melakukan pengukuran ulang lahan tersebut, menandakan bahwa proses lelang pertama telah dilakukan. Lalu, bagaimana nasib Mbah Tupon? Mungkinkah ia dapat merebut kembali tanahnya yang diduga menjadi korban kejahatan pertanahan?
Menurut pengacara properti, Muhammad Rizal Siregar, kasus ini kini berstatus sengketa. Mbah Tupon memiliki hak untuk melakukan perlawanan hukum melalui gugatan di pengadilan guna memperjuangkan kembali kepemilikan tanahnya. Rizal menduga kuat adanya tindak pidana pemalsuan surat atau akta autentik dalam kasus ini, bukan sekadar penipuan. Ia menjelaskan bahwa pihak pembeli (BR) diduga terlibat dalam pemalsuan akta kepemilikan hak atas tanah tersebut.
"Kejadian ini mengarah pada pemalsuan surat atau akta autentik, bukan penipuan biasa. Pembeli, dalam hal ini BR, diduga melakukan pemalsuan akta kepemilikan hak dari orang lain," tegas Rizal.
Rizal menambahkan, pelaku pemalsuan akta autentik dapat dijerat dengan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman penjara 5 hingga 7 tahun. Selain hukuman pidana, pelaku juga wajib memberikan ganti rugi kepada korban. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian aset tanah atau penggantian uang senilai harga tanah.
"Dalam kasus ini, pembeli (BR) dan notaris memiliki tanggung jawab terkait dugaan pemalsuan. Selain itu, pihak bank juga harus bersedia melepaskan aset tersebut," imbuhnya.
Rizal menegaskan bahwa Mbah Tupon sebagai korban tidak memiliki tanggung jawab kepada bank, karena kredit tersebut atas nama orang lain. Ia menyarankan agar Mbah Tupon melakukan upaya perlawanan melalui pengadilan negeri untuk membatalkan proses lelang tanah yang dilakukan oleh bank.
Rizal menyoroti peran BR yang menawarkan jasa pemecahan sertifikat kepada Mbah Tupon. Menurutnya, BR telah mendapatkan akses untuk memegang sertifikat asli dengan dalih mengurus proses pemecahan sertifikat. Rizal menduga adanya persekongkolan antara BR dan notaris dalam membalik nama sertifikat tersebut.
"Jika notaris melakukan pemecahan sertifikat tanpa permintaan dari pemilik tanah, hal itu sangat tidak mungkin terjadi. Ini mengindikasikan adanya persekongkolan antara notaris dan pembeli (BR)," jelasnya.
Lebih lanjut, Rizal menyoroti kondisi Mbah Tupon yang sudah lanjut usia dan buta huruf. Ia menyarankan agar Mbah Tupon didampingi oleh pengampu atau anggota keluarga sebagai saksi dalam setiap proses hukum. Selain itu, notaris sebagai pihak netral dan paham hukum, seharusnya memberikan bimbingan yang jelas kepada pemilik tanah.
"Mbah Tupon tidak paham hukum dan tidak memiliki pendamping. Akibatnya, beliau mendapatkan informasi yang keliru sehingga mengalami kerugian besar, yaitu kehilangan tanah yang diagunkan ke bank," ungkapnya.
Rizal menjelaskan, meskipun pemilik tanah menandatangani dokumen peralihan nama, proses hukum tersebut dapat dianggap tidak sah apabila Mbah Tupon merasa menandatangani dokumen pemecahan sertifikat, bukan dokumen lain.
"Meskipun Mbah Tupon menandatangani dokumen, beliau merasa bahwa yang ditandatangani adalah dokumen pemecahan sertifikat, bukan pengajuan agunan ke bank. Apalagi, Mbah Tupon tidak mengerti hukum. Jika ada notaris yang terlibat, kemungkinan besar mereka tidak bertindak sendiri," pungkasnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, putra sulung Mbah Tupon, Heri Setiawan (31), menceritakan bahwa kasus ini bermula ketika Mbah Tupon hendak menjual sebagian tanahnya seluas 2.100 meter persegi. Pada tahun 2020, Mbah Tupon menjual tanah seluas 298 meter persegi kepada BR.
Karena pembayaran tanah tersebut masih kurang Rp 35 juta, BR menawarkan untuk memecah sertifikat tanah Mbah Tupon seluas 1.655 meter persegi atas nama ketiga anaknya. Heri menyebutkan bahwa BR berjanji akan menanggung biaya pemecahan sertifikat dari hasil kekurangan pembayaran tersebut.
"Dulu, bapak sempat dua kali tanda tangan dokumen bersama BR. Pertama di Janti, kedua di Krapyak. Bapak tidak tahu dokumen apa yang ditandatangani karena buta huruf dan tidak ada yang membacakan. Bapak juga tidak didampingi," jelas Heri.
Setelah berbulan-bulan tanpa kejelasan, petugas bank datang pada Maret 2024. Petugas tersebut menginformasikan bahwa tanah yang seharusnya dipecah sertifikatnya, justru sudah lama dialihkan namanya dan menjadi agunan bank senilai Rp 1,5 miliar. Tanah tersebut bahkan sudah masuk tahap lelang pertama.