DKI Jakarta Tegaskan Sikap: Tidak Ada Dispensasi Pajak Kendaraan Bermotor Bagi Penunggak
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengambil sikap tegas terhadap para penunggak pajak kendaraan bermotor (PKB). Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menyatakan bahwa tidak akan ada program pemutihan atau pengampunan bagi mereka yang lalai membayar kewajibannya. Sebaliknya, Pemprov DKI Jakarta akan aktif menagih tunggakan pajak tersebut.
Anung menegaskan bahwa para penunggak pajak telah menikmati berbagai fasilitas dan kemudahan sebagai warga Jakarta, namun tidak memenuhi kewajiban membayar pajak. Menurutnya, pemberian bantuan seharusnya diprioritaskan bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan, seperti melalui program pemutihan ijazah bagi keluarga kurang mampu. Ia berpendapat bahwa mayoritas penunggak pajak kendaraan bermotor adalah pemilik kendaraan kedua atau ketiga, sehingga tidak termasuk kategori yang layak menerima bantuan.
"Bagi yang punya mobil tidak mau bayar pajak saya tidak akan putihkan, saya akan kejar dia," ujar Anung, seperti dilansir dari Antara.
Fokus utama Pemprov DKI Jakarta saat ini adalah membantu masyarakat miskin dan mengurangi kesenjangan sosial. Anung mencontohkan beberapa program yang telah dan akan dilakukan, seperti pemutihan ijazah, penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk rumah dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp 2 miliar, dan apartemen dengan NJOP di bawah Rp 650 juta.
Kebijakan berbeda diambil oleh Pemerintah Provinsi Banten dan Jawa Barat. Gubernur Banten, Andra Soni, mengeluarkan kebijakan pemutihan tunggakan pajak kendaraan bermotor yang berlaku mulai 10 April hingga 30 Juni 2025. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Banten Nomor 170 Tahun 2025 tentang Pembebasan Pokok dan/atau Sanksi Pajak Kendaraan Bermotor, yang ditandatangani pada 27 Maret 2025. Andra menyampaikan kebijakan ini saat acara buka bersama dengan para alim ulama Banten di Gedung Negara, Kota Serang.
Sementara itu, mantan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pernah mengusulkan pendekatan yang berbeda. Ia berpendapat bahwa memberikan keringanan atau diskon untuk tunggakan pajak dapat lebih efektif dalam meningkatkan pendapatan daerah. Dedi mencontohkan, jika 6 juta wajib pajak yang menunggak rata-rata membayar Rp 250 ribu setelah mendapatkan keringanan, maka potensi pendapatan daerah yang bisa diraih mencapai Rp 1,3 triliun. Dana tersebut dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur jalan.
"Kita pengen nunggu orang bayar Rp2 juta dalam impian atau Rp 250 ribu tunai. Dari sisi ekonomi lebih baik dapat uang fresh yang Rp 250 ribu dibanding nunggu yang Rp 2 juta dibayar," kata Dedi di gedung Pakuan, Bandung, Rabu (19/3) lalu.
Perbedaan pendekatan ini menunjukkan kompleksitas permasalahan tunggakan pajak kendaraan bermotor dan perlunya pertimbangan matang dalam menentukan kebijakan yang paling efektif dan berkeadilan.