Komisi II DPR RI Menolak Pembatasan Pejabat Daerah Berasal dari Ormas

Rifqinizamy Karsayuda, Ketua Komisi II DPR RI, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap usulan yang melarang pejabat daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota untuk berasal dari tokoh organisasi kemasyarakatan (ormas). Pernyataan ini disampaikan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.

Usulan tersebut muncul sebagai respons terhadap perilaku beberapa ormas yang dianggap telah melampaui batas, termasuk dalam praktik pemerasan dan tindakan yang merugikan iklim investasi. Namun, Rifqinizamy berpendapat bahwa setiap individu memiliki hak konstitusional untuk berserikat dan berkumpul. Larangan terhadap pejabat daerah yang berasal dari ormas dianggap sebagai pembatasan hak yang tidak proporsional.

"Setiap warga negara memiliki hak untuk berserikat dan berkumpul, termasuk menjadi bagian dari ormas. Asalkan, jabatan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan," tegas Rifqinizamy.

Menurutnya, keberadaan tokoh ormas dalam pemerintahan daerah dapat memberikan kontribusi positif. Ormas memiliki peran penting dalam dinamika politik lokal, terutama dalam pemilihan langsung. Namun, ia menekankan pentingnya kepala daerah untuk tetap independen dan tidak terikat oleh utang budi politik kepada ormas tertentu. Hal ini diperlukan agar kepala daerah dapat menegakkan aturan secara adil dan tanpa kompromi.

"Kepala daerah harus berani bertindak tegas terhadap ormas yang melanggar aturan, tanpa terpengaruh oleh pertimbangan politis," ujarnya.

Mengenai penanganan ormas yang bermasalah, Rifqinizamy mengusulkan agar pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) terkait ormas, alih-alih merevisi Undang-Undang (UU) Ormas. Revisi PP dinilai lebih mendesak untuk memberikan kewenangan pengawasan yang lebih besar kepada aparat penegak hukum, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Ia berpendapat bahwa revisi UU Ormas belum menjadi prioritas utama. Menurutnya, UU Nomor 17 Tahun 2013 telah memberikan kewenangan yang cukup kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mengawasi dan membubarkan ormas yang melakukan pelanggaran secara kolektif atau institusional.

"Jika ada ormas yang melakukan tindakan melanggar hukum secara terstruktur, pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menindak," jelasnya.

Namun, jika pelanggaran dilakukan oleh individu anggota ormas, Rifqinizamy menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas. Tindakan seperti pemerasan atau pungutan liar yang dilakukan oleh oknum ormas harus ditindak sebagai tindak pidana umum. Dengan penegakan hukum yang efektif, masalah ormas yang meresahkan dapat diatasi tanpa perlu melakukan perubahan yang signifikan pada UU Ormas.

"Penegakan hukum yang konsisten dan tanpa pandang bulu adalah kunci untuk mengatasi masalah ormas yang melakukan pelanggaran," pungkasnya.