Sertifikat Rumah Warga Perumahan Ungaran Asri Regency Terkatung-katung Akibat Dugaan Pengagunan oleh Pengembang

Nasib puluhan warga Perumahan Ungaran Asri Regency (Punsae) di Desa Kalongan, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, kini berada di ujung tanduk. Impian mereka untuk memiliki rumah dengan sertifikat yang jelas terancam pupus akibat persoalan yang tak kunjung usai dengan pihak pengembang.

Dalam pertemuan dengan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Men-PKP), Maruarar Sirait, perwakilan warga menyampaikan keluh kesah mereka. Ketua RW 20 Perum Punsae, Julianto Deni Saputra, mengungkapkan bahwa sebanyak 66 warga yang telah melunasi pembayaran rumah hingga kini belum menerima sertifikat yang menjadi hak mereka. Ironisnya, sertifikat tersebut diduga telah diagunkan oleh pengembang ke Bank Tabungan Negara (BTN) sejak enam tahun silam.

"Kami tergiur dengan iming-iming harga rumah yang murah dan predikat pengembang terbaik yang disandang pengembang ini dari BTN," ujar Deni, menjelaskan alasan warga mempercayakan pembelian rumah kepada pengembang tersebut. Sistem pembayaran pun dilakukan langsung kepada pengembang, tanpa melalui mekanisme perbankan yang lazim.

Namun, masalah tidak hanya berhenti pada persoalan sertifikat. Deni juga menuturkan bahwa 10 rumah warga mengalami kerusakan akibat longsor dan hingga saat ini belum diperbaiki, meskipun pengembang sempat menjanjikan perbaikan. Bahkan, ada warga yang sudah melunasi pembayaran namun belum bisa menempati rumahnya. Sebagian dari mereka terpaksa dipindahkan ke unit lain dengan ukuran yang tidak sesuai dengan perjanjian awal.

"Dulu modelnya pesan bayar baru dibangun, ternyata setelah dibayar malah tidak dibangun," keluh Deni. Ia menambahkan bahwa lokasi rumah di bagian bawah perumahan memang rawan longsor karena kontur tanah yang berbentuk tebing-tebing. Janji pembangunan talud sebagai penahan longsor pun tak kunjung direalisasikan.

Menanggapi keluhan warga, Bupati Semarang, Ngesti Nugraha, menyatakan bahwa izin pembangunan Perumahan Punsae tidak diterbitkan di masa pemerintahannya. Ia mengaku telah berkomunikasi dengan pengembang perumahan, yang berjanji akan menyelesaikan persoalan ini secara bertahap.

Sementara itu, perwakilan BTN Kabupaten Semarang, Nurdin, menyatakan pihaknya akan melakukan investigasi terkait status sertifikat milik warga. Ia menjelaskan bahwa sertifikat tersebut bisa saja merupakan bagian dari proyek yang diagunkan oleh pengembang, atau berada di notaris. Jika sertifikat tersebut diagunkan oleh pengembang dan belum ada penebusan, maka sertifikat tersebut tidak dapat diserahkan kepada warga. Nurdin bahkan menyatakan bahwa BTN juga bisa dikatakan sebagai korban dalam kasus ini.

Menteri Maruarar Sirait (Ara) menunjukkan respons cepat dengan mendorong penyelesaian persoalan Perumahan Punsae melalui jalur hukum. Ia bahkan menugaskan Dirjen Tata Kelola dan Pengendalian Risiko Kementerian PKP untuk mengusut tuntas persoalan ini dalam waktu tiga hari. Ara juga meminta audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar semua permasalahan menjadi jelas.

Ara menilai kasus ini sangat memprihatinkan dan perlu diselesaikan secara hukum agar memberikan efek jera dan menjadi pembelajaran bagi masyarakat. Ia menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap rumah subsidi seperti Punsae, di mana pembeli langsung bertransaksi dengan pengembang tanpa melalui perbankan resmi. Ara juga mengimbau bank untuk tidak asal memberikan kredit dan memilih pengembang yang bertanggung jawab.

Berikut adalah poin-poin permasalahan yang dihadapi warga:

  • 66 warga belum menerima sertifikat meski sudah melunasi pembayaran.
  • Sertifikat diduga diagunkan pengembang ke BTN.
  • 10 rumah rusak akibat longsor dan belum diperbaiki.
  • Warga yang sudah membayar lunas belum bisa menempati rumah.
  • Sebagian warga dipindahkan ke unit lain dengan ukuran tidak sesuai.
  • Janji pembangunan talud penahan longsor tidak terealisasi.