Polemik Pencopotan Rektor Universitas Pancasila, Diduga Terkait Kasus Dugaan Pelecehan Seksual

Pencopotan Profesor Marsudi Wahyu Kisworo dari jabatannya sebagai Rektor Universitas Pancasila (UP) oleh Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila (YPP-UP) menuai kontroversi. Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Ketua Pembina YPP-UP nomor 04/KEP/KA.PEMB/YPP-UP/IV/2025 yang ditandatangani oleh Ir. Suswono Yudo Husodo pada 24 April 2025. Marsudi, yang seharusnya menjabat sebagai Rektor UP periode 2024-2028, membenarkan informasi mengenai pemberhentian dirinya.

Biro Komunikasi Universitas Pancasila menyatakan bahwa SK pemberhentian tersebut dikeluarkan tanpa adanya komunikasi sebelumnya dengan Marsudi, maupun dengan pihak internal universitas seperti Senat Universitas Pancasila, Wakil Rektor, Direktur, dan jajaran lainnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan tata kelola yang baik dalam pengambilan keputusan.

"Dialog yang terbuka dan musyawarah yang inklusif seharusnya menjadi landasan utama dalam membangun tata kelola yang baik. Oleh karena itu perlu disampaikan, bahwa saat ini seluruh pimpinan di tingkat universitas sedang berkoordinasi secara intens untuk menyikapi situasi yang terjadi saat ini dan memastikan kelangsungan operasional kampus tetap berjalan dengan baik," ujar Biro Komunikasi UP dalam keterangannya.

Spekulasi mengenai alasan pencopotan Marsudi pun bermunculan. Marsudi menduga bahwa pemberhentian dirinya terkait dengan sikapnya dalam membela korban kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan Rektor UP nonaktif, Edie Toet Hendratno (ETH). Ia mengklaim bahwa pejabat universitas yang aktif memberikan dukungan kepada korban mengalami tekanan dan intimidasi.

"Ada hubungannya dengan kasus ETH sehingga terjadi tekanan dan intimidasi terhadap beberapa pejabat termasuk yang sudah diberhentikan secara sewenang-wenang oleh YPP-UP tanpa ada kesalahan dan tanpa kesempatan membela diri karena selama ini dianggap aktif melakukan advokasi kepada korban kasus ETH," ungkap Marsudi.

Lebih lanjut, Marsudi menyoroti bahwa sesuai dengan Statuta UP, evaluasi kinerja seharusnya menjadi kewenangan Senat Universitas. Namun, dalam kasus ini, Senat tidak dilibatkan sama sekali. Ia merasa keberatan dengan evaluasi kinerja yang dianggap tidak objektif dan berbeda dengan evaluasi dari kementerian yang dapat diakses publik melalui Dashboard Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi.

Kasus dugaan pelecehan seksual yang menjerat Edie Toet Hendratno sendiri terus bergulir. Terbaru, dua korban baru telah melaporkan ETH ke Bareskrim Polri, sehingga total terdapat empat korban yang telah melapor ke pihak kepolisian.

Berikut adalah poin-poin penting terkait kasus ini:

  • Pencopotan Rektor UP oleh YPP-UP tanpa komunikasi internal.
  • Dugaan keterkaitan pencopotan dengan kasus dugaan pelecehan seksual.
  • Ketidaklibatan Senat Universitas dalam evaluasi kinerja Rektor.
  • Bertambahnya jumlah korban dugaan pelecehan seksual yang melapor ke polisi.

Situasi ini menimbulkan ketidakpastian di lingkungan Universitas Pancasila. Pimpinan universitas sedang berkoordinasi untuk memastikan operasional kampus tetap berjalan lancar. Kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi, tata kelola yang baik, dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.