Oknum Dosen di Mataram Terjerat Kasus Pelecehan Seksual Terhadap Mahasiswa
Dosen Universitas Negeri di Mataram Jadi Tersangka Kasus Kekerasan Seksual
Seorang oknum dosen dari sebuah Universitas Negeri di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan inisial LRR (28), telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh pihak kepolisian atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa. Kasus ini mencuat setelah adanya laporan dari beberapa korban yang didampingi oleh Koalisi Stop Kekerasan Seksual dan Kelompok Pemuda Sasaku Lombok Barat pada akhir Desember 2024.
Menurut keterangan Kombes Pol Syarif Hidayat, Direskrimum Polda NTB, penahanan tersangka telah dilakukan sejak Senin, 28 April 2025. Saat ini, tim penyidik tengah fokus melengkapi berkas perkara untuk segera dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi NTB dalam tahap pertama.
AKBP Ni Mede Pujewati, Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB, menjelaskan bahwa penetapan tersangka LRR didasarkan pada laporan dari empat orang korban, yaitu AZ (19), RT (22), GA (25), dan FA (23), dari total 22 mahasiswa yang diduga menjadi korban. Tersangka dijerat dengan Pasal 6 huruf C dan/atau Pasal 6 huruf A juncto Pasal 15 E Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun, serta denda maksimal Rp 300 juta.
Modus Operandi dan Pengakuan Korban
Modus operandi yang digunakan tersangka, sebagaimana diungkapkan oleh AKBP Ni Mede Pujewati, adalah dengan memanfaatkan posisinya sebagai dosen dan pengaruhnya terhadap para mahasiswa. Salah satu contohnya terjadi pada tanggal 17 September 2024, ketika korban GA mengunjungi sebuah komunitas di Lombok Barat yang juga diikuti oleh tersangka dan beberapa korban lainnya. Awalnya, kegiatan komunitas berjalan seperti biasa, namun setelah diskusi, para peserta beristirahat di berbagai tempat.
Saat itulah, tersangka LRR diduga melakukan tindakan pelecehan dengan modus berpura-pura mengobati sakit perut korban GA melalui pijatan. Dalam kondisi setengah tertidur, korban merasa tidak nyaman karena tersangka menyentuh bagian vitalnya. Korban GA merasa risih dan tidak berani melawan karena tersangka adalah dosennya.
Korban lainnya juga mengaku mengalami hal serupa dan saling berbagi cerita, hingga akhirnya mereka sepakat untuk melaporkan tersangka ke pihak berwajib. Para korban mengaku bahwa tersangka kerap kali menggunakan istilah-istilah agama yang menyimpang, seperti "zikir zakar" dan "mandi suci berdua", untuk meyakinkan mereka agar menerima tindakan pelecehan tersebut.
Penolakan Tersangka dan Upaya Hukum Lebih Lanjut
Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, LRR hingga saat ini masih belum mengakui perbuatannya. Namun, pihak kepolisian menegaskan bahwa penetapan tersangka didasarkan pada alat bukti yang cukup, termasuk keterangan saksi, keterangan ahli, dan hasil pemeriksaan psikologis terhadap korban dan tersangka.
Selain itu, polisi juga telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan mengirimkan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi NTB. Joko Jumadi, dari Koalisi Stop Kekerasan Seksual, menyatakan bahwa pelaku LRR dijerat dengan Undang-Undang TPKS, sama seperti kasus serupa sebelumnya. Sabri, Ketua Sasaku Lombok Barat, menambahkan bahwa aksi pelaku telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir, dengan lokasi kejadian yang bervariasi, mulai dari kos, rumah pelaku, hingga lingkungan kampus.
Kasus ini menjadi sorotan karena pelaku memanfaatkan posisinya sebagai pendidik dan menggunakan dalih agama untuk melakukan tindakan pelecehan seksual. Para korban didoktrin agar percaya pada perkataan pelaku, sehingga sulit untuk melawan. Pihak berwajib terus berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti yang kuat dan memastikan bahwa pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.