Sektor Manufaktur dan Perdagangan Diprediksi Jadi Primadona Pembiayaan Bank di Tahun 2025
markdown Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan bahwa sektor industri pengolahan dan perdagangan besar akan terus menjadi motor penggerak utama penyaluran kredit perbankan nasional sepanjang tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada kinerja kedua sektor tersebut yang tetap solid dan menunjukkan potensi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Data terbaru dari OJK per Februari 2025 menunjukkan bahwa industri pengolahan berhasil menyerap 15,69 persen dari total kredit yang disalurkan oleh perbankan. Sementara itu, sektor perdagangan besar menyusul dengan kontribusi sebesar 14,98 persen. Meskipun terdapat sedikit peningkatan pada rasio kredit bermasalah (NPL) di industri pengolahan secara tahunan, OJK tetap memberikan penilaian positif terhadap performa kedua sektor tersebut secara keseluruhan.
"Hal ini mengindikasikan bahwa industri pengolahan dan perdagangan besar masih memiliki prospek yang menjanjikan untuk mendapatkan dukungan pembiayaan dari sektor perbankan," ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, dalam sebuah pernyataan di Jakarta, Senin (28/4/2025).
Kinerja dan Prospek Sektor Manufaktur
Secara lebih rinci, data OJK mencatat bahwa kredit yang disalurkan ke sektor manufaktur mengalami pertumbuhan sebesar 11,46 persen secara tahunan hingga Februari 2025. Meskipun demikian, rasio NPL gross dan loan at risk (LaR) di sektor ini tercatat masing-masing sebesar 2,93 persen dan 10,08 persen.
OJK meyakini bahwa sektor manufaktur masih memiliki potensi yang signifikan untuk terus berkembang, terutama didorong oleh peningkatan permintaan terhadap barang-barang konsumsi seperti makanan, pakaian, produk elektronik, dan otomotif. Selain itu, industri manufaktur juga memainkan peran penting dalam mendukung ekspor barang jadi dan menciptakan lapangan kerja.
Namun, Dian Ediana Rae juga mengingatkan bahwa sektor manufaktur tetap menghadapi tantangan global, terutama terkait dengan kebijakan tarif impor, termasuk yang berasal dari Amerika Serikat. Kebijakan ini berpotensi memberikan dampak negatif terhadap sektor manufaktur yang sangat bergantung pada pasar ekspor, terutama ke AS. Oleh karena itu, OJK menekankan pentingnya pemantauan terhadap perkembangan kebijakan tarif di masa depan dan upaya untuk mempertahankan competitive advantage produk ekspor Indonesia.
Relaksasi Pembiayaan untuk Sektor Manufaktur
Untuk mendukung pertumbuhan sektor manufaktur, OJK memberikan ruang bagi perbankan untuk menyalurkan kredit melalui sejumlah relaksasi. Salah satunya adalah penilaian kredit manufaktur dengan plafon hingga Rp5 miliar yang dapat didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan bunga.
Selain itu, bank juga dapat memanfaatkan kelonggaran batas pemberian kredit (BMPK) hingga 30 persen dari modal jika kredit tersebut ditujukan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Angka ini lebih besar dibandingkan dengan BMPK ke pihak terafiliasi (10 persen) maupun non-terafiliasi non-BUMN (25 persen). Kredit yang dijamin oleh lembaga penjamin milik pemerintah juga dapat dikategorikan sebagai program pemerintah dan dikecualikan dari BMPK.
Potensi Sektor Non-Migas
Selain sektor manufaktur dan perdagangan besar, OJK juga menyoroti potensi yang menjanjikan dari industri non-migas. Lonjakan permintaan terhadap produk elektronik dan otomotif membuka peluang bagi pengembangan industri semikonduktor, mulai dari hulu seperti silika dan tembaga, hingga proses fabrikasi.
Dian Ediana Rae juga menambahkan bahwa nikel menjadi komoditas yang semakin diminati seiring dengan pertumbuhan kendaraan listrik. Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, dinilai memiliki peluang besar dalam pengembangan industri nikel, mulai dari pertambangan hingga daur ulang baterai.
Kewaspadaan Terhadap Risiko
Meskipun demikian, OJK tetap mengingatkan perbankan untuk mewaspadai risiko penurunan kinerja industri komoditas akibat tekanan ekonomi global. Analisis yang cermat terhadap kondisi makroekonomi tetap penting untuk menjaga kualitas kredit yang disalurkan.