Evolusi Hunian Vertikal Jakarta: Dari Rusun Klender Menuju Kebon Kacang

Sejarah pembangunan rumah susun di Jakarta adalah sebuah perjalanan panjang yang berakar dari upaya penyediaan perumahan rakyat setelah kemerdekaan. Gagasan hunian vertikal mulai mendapatkan momentum pada era 1950-an, ketika Gubernur Sudiro mengajukan konsep rumah susun kepada Dewan Perwakilan Kota Sementara (DPKS). Usulan ini muncul sebagai respons terhadap kekacauan penataan kota setelah Jakarta kembali menjadi ibu kota negara.

Realisasi konkret dari gagasan ini baru terwujud pada dekade 1970-an, seiring dengan pendirian Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) pada tahun 1974. Momentum ini menandai dimulainya era pembangunan rumah susun secara terstruktur dan masif di Jakarta. Pembangunan Rumah Susun Klender, Rumah Susun Tanah Abang, dan Rumah Susun Kebon Kacang menjadi tonggak awal dalam sejarah hunian vertikal di ibu kota.

Rusun Klender, dibangun antara tahun 1976 hingga 1979 dan diresmikan pada tahun 1985, berdiri di atas lahan seluas 11,3 hektar. Kompleks ini terdiri dari 78 blok empat lantai, yang menyediakan total 1.280 unit hunian. Tersedia dua tipe unit, yaitu seluas 36 meter persegi dan 54 meter persegi. Setiap blok menampung 16 unit, dengan empat unit di setiap lantai. Pada masa itu, rumah susun dianggap sebagai solusi cerdas untuk mengatasi keterbatasan lahan yang semakin mendesak.

Namun, adaptasi budaya menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan kehidupan rumah tapak dan interaksi sosial di lingkungan pekarangan harus menyesuaikan diri dengan kehidupan di hunian bertingkat yang memisahkan interaksi sosial melalui batasan vertikal. Perubahan ini menuntut penyesuaian gaya hidup dan interaksi sosial penghuni.

Pemerintah Jakarta juga aktif mempromosikan hunian vertikal sebagai bagian dari program peremajaan kota. Pada awal 1980-an, Rumah Susun Tanah Abang dan Rumah Susun Kebon Kacang dibangun untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang terus meningkat.

Rumah Susun Tanah Abang, yang dirancang oleh PT Arkonin, dibangun di atas lahan seluas empat hektar. Pembangunannya dimulai pada tahun 1979, dipasarkan pada tahun 1980, dan diresmikan pada tanggal 23 April 1981, bertepatan dengan Hari Kartini. Rumah susun ini terdiri dari empat lantai dengan total 960 unit hunian dan menjadi rumah susun hak milik pertama yang memungkinkan pembayaran dengan sistem angsuran hingga 15 tahun. Unit di lantai dasar dialokasikan untuk kegiatan usaha, dengan skema subsidi silang dari harga jual yang lebih tinggi.

Sementara itu, pembangunan Rusun Kebon Kacang dimulai pada Maret 1982. Hunian ini dibangun di atas lahan bekas perkampungan padat dan area pemakaman. Desainnya terdiri dari delapan blok kembar empat lantai, dengan total 600 unit hunian yang terbagi dalam tiga tipe: F-21 (368 unit), F-42 (160 unit), dan F-51 (72 unit). Tipologi ruangnya dirancang untuk mencerminkan karakteristik ruang kampung, seperti koridor panjang untuk mendorong interaksi sosial dan keberadaan warung di setiap lantai.

Dua pengembang swasta, PT Pudjiadi & Sons dan PT Handara Graha, ditunjuk untuk membangun rusun ini dengan menggunakan sistem konstruksi yang berbeda. PT Pudjiadi & Sons menggunakan baja WF sedangkan PT Handara Graha menggunakan beton. Bagian luar bangunan mendapatkan perhatian khusus untuk estetika dari Jalan M.H. Thamrin, sementara penyelesaian interior diserahkan kepada penghuni.

Kebijakan ini mencerminkan bahwa hunian vertikal bukan hanya tentang bangunan fisik, tetapi juga tentang adaptasi budaya berhuni. Perubahan sosial yang menyertai transisi ini bahkan diangkat ke layar lebar melalui film "Cintaku di Rumah Susun" (1987). Perjalanan rumah susun di Jakarta, dari Klender hingga Kebon Kacang, membuktikan bahwa membangun hunian vertikal bukan hanya tentang mendirikan gedung tinggi, tetapi juga tentang membentuk cara hidup dan membangun kebersamaan di tengah masyarakat kota yang terus berkembang.