Paradoks Pariwisata Bali: Kunjungan Turis Meningkat, Okupansi Hotel Merosot

Bali, destinasi wisata yang mendunia, tengah menghadapi sebuah paradoks yang membingungkan. Di satu sisi, angka kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) menunjukkan tren positif yang menggembirakan. Namun, di sisi lain, industri perhotelan di Pulau Dewata justru menjerit karena tingkat hunian kamar yang jauh dari harapan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana para turis itu menginap?

Data dari Dinas Pariwisata Bali mencatat adanya peningkatan signifikan dalam jumlah kunjungan wisman pada awal tahun 2025. Lebih dari satu juta wisatawan asing tercatat mengunjungi Bali pada periode Januari-Februari, meningkat sekitar 16 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan ini seharusnya menjadi angin segar bagi industri perhotelan. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali melaporkan bahwa tingkat keterisian kamar hotel selama periode tersebut hanya berkisar antara 10 hingga 20 persen.

Sekretaris Jenderal PHRI Bali, Perry Markus, mengungkapkan bahwa fenomena ini sangat tidak lazim. Menurutnya, dengan jumlah kunjungan wisatawan yang terus meningkat, seharusnya tingkat hunian hotel juga mengalami peningkatan yang signifikan. Namun, hasil kajian PHRI Bali menemukan bahwa banyak wisatawan asing yang memilih untuk menginap di akomodasi wisata ilegal, seperti vila dan rumah kos mewah yang tidak memiliki izin resmi. Akomodasi-akomodasi ini dikelola oleh individu, baik warga lokal maupun warga negara asing, dan ditawarkan secara langsung kepada teman atau kenalan mereka.

Praktik ini dinilai sangat merugikan industri perhotelan yang legal. Hotel-hotel resmi harus menanggung kewajiban pajak dan berbagai regulasi pemerintah, sementara akomodasi ilegal tidak terikat oleh aturan-aturan tersebut. Perry Markus mendesak Pemerintah Provinsi Bali untuk segera menindak tegas akomodasi ilegal demi melindungi industri perhotelan yang legal dan berkontribusi terhadap perekonomian daerah.

Faktor privasi menjadi salah satu daya tarik utama bagi wisatawan yang memilih menginap di akomodasi ilegal. Selain itu, tarif yang ditawarkan juga tidak jauh berbeda dengan hotel resmi. Perry menambahkan, para turis ini biasanya dibawa oleh teman mereka yang memiliki atau mengelola akomodasi ilegal. Transaksi pembayaran pun seringkali dilakukan di negara asal, sehingga sulit untuk dilacak.

Merespon isu ini, Dinas Pariwisata Provinsi Bali telah menggelar pertemuan dengan dinas pariwisata kabupaten/kota se-Bali serta sejumlah asosiasi akomodasi. Kepala Dinas Pariwisata Bali, Tjok Bagus Pemayun, menjelaskan bahwa langkah ini diambil atas arahan dari Kementerian Pariwisata untuk menelaah lebih lanjut kebenaran informasi yang beredar. Pertemuan tersebut juga melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS) Bali dan Bank Indonesia (BI) perwakilan Bali untuk melakukan sinkronisasi data antara laporan di lapangan dan data statistik resmi.

Berikut adalah beberapa poin penting yang mengemuka:

  • Akomodasi Ilegal: Maraknya akomodasi ilegal seperti vila dan rumah kos mewah yang tidak berizin menjadi penyebab utama rendahnya tingkat hunian hotel.
  • Privasi: Wisatawan asing lebih memilih akomodasi ilegal karena menawarkan privasi yang lebih tinggi.
  • Harga: Tarif akomodasi ilegal tidak jauh berbeda dengan hotel resmi.
  • Kerugian: Industri perhotelan legal merasa dirugikan karena harus bersaing dengan akomodasi ilegal yang tidak terikat regulasi.
  • Tindakan Pemerintah: Pemerintah Provinsi Bali didesak untuk menindak tegas akomodasi ilegal.
  • Sinkronisasi Data: Dinas Pariwisata Bali melakukan sinkronisasi data dengan BPS dan BI untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat.

Dengan adanya fenomena ini, Bali dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan pertumbuhan pariwisata dengan keberlangsungan industri perhotelan yang legal. Penegakan hukum terhadap akomodasi ilegal dan peningkatan daya saing hotel resmi menjadi kunci untuk mengatasi paradoks ini.