Polemik Ijazah Jokowi: Antara Fakta dan Erosi Kepercayaan Publik
Isu validitas ijazah Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan, memicu perdebatan yang lebih dalam tentang nalar publik dan erosi kepercayaan terhadap institusi. Alih-alih menjadi diskusi konstruktif, isu ini justru berpotensi menjadi alat politik yang mendegradasi kualitas demokrasi.
Tuduhan tanpa dasar yang berulang terkait keaslian ijazah Presiden Jokowi mengarah pada logical fallacy, yaitu argumentasi yang mengandalkan ketidaktahuan. Asumsi keliru bahwa ketiadaan bukti di pihak penuduh membenarkan tuduhan itu sendiri, mengabaikan prinsip bahwa beban pembuktian terletak pada pihak yang melontarkan tuduhan.
Fakta yang Terabaikan
Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat Jokowi menempuh pendidikan tinggi, telah secara resmi mengkonfirmasi keabsahan ijazah tersebut. Klarifikasi ini diperkuat oleh catatan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta penggunaan ijazah dalam dokumen resmi kenegaraan. Dalam dunia akademik dan hukum, fakta yang sudah terverifikasi hanya bisa digugurkan dengan bukti yang lebih kuat, bukan sekadar opini atau spekulasi.
Meski demikian, pihak-pihak tertentu terus mengungkit isu ini, mengabaikan fakta-fakta yang telah diverifikasi. Mereka mengabaikan pernyataan resmi dari UGM, kesaksian dosen dan rekan seangkatan, serta catatan administrasi yang jelas menunjukkan bahwa Jokowi adalah alumni Fakultas Kehutanan UGM.
Dampak pada Kepercayaan Sosial
Kasus pemalsuan ijazah memang pernah terjadi di kalangan pejabat publik di berbagai negara, namun selalu didasari oleh bukti konkret. Dalam kasus Jokowi, tidak ada satu pun lembaga resmi yang menyatakan ijazahnya bermasalah. Mahkamah Agung bahkan telah menolak gugatan terkait ijazah ini karena kurangnya bukti.
Oleh karena itu, pengulangan isu ini lebih menyerupai upaya character assassination yang merusak iklim demokrasi dan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi. Francis Fukuyama menekankan pentingnya kepercayaan dalam masyarakat untuk menciptakan stabilitas dan kemajuan ekonomi. Ketika masyarakat terus-menerus dicekoki dengan teori konspirasi dan praduga tanpa dasar, kepercayaan terhadap pemerintah dan institusi akan runtuh.
Survei menunjukkan bahwa penyebaran hoaks terhadap tokoh publik berkorelasi dengan menurunnya kepercayaan terhadap lembaga negara. Di era disinformasi yang masif, masyarakat rentan terhadap narasi palsu, terutama jika disebarkan oleh tokoh publik atau influencer yang mereka ikuti.
Mengaburkan Isu Substansial
Ironisnya, polemik ijazah ini mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih krusial, seperti transisi energi, ketahanan pangan, dan reformasi hukum. Ruang publik menjadi arena perdebatan yang tidak produktif, di mana rasionalitas dikalahkan oleh sensasi. Hal ini juga mendorong terbentuknya echo chamber di media sosial, di mana pengguna hanya terpapar pada informasi yang menguatkan keyakinan mereka, tanpa melakukan verifikasi kritis.
Membangun Kembali Rasionalitas
Kemenangan Joko Widodo dalam Pilpres 2019, dengan lebih dari 85 juta suara, adalah bukti dari proses verifikasi administratif yang ketat dan berlapis. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memverifikasi semua berkas pencalonan, termasuk keabsahan ijazah, melalui koordinasi dengan berbagai institusi. Meragukan keabsahan ijazah tanpa bukti yang valid adalah bentuk disinformasi yang menyesatkan nalar publik dan persepsi demokratis.
Belajar dari kasus birtherism di Amerika Serikat, kita harus menyadari bahaya teori konspirasi yang tidak berbasis bukti. Tuduhan terhadap keaslian ijazah Jokowi memiliki potensi yang sama untuk merusak kepercayaan publik dan mengganggu ketertiban demokrasi.
Demokrasi yang sehat dibangun di atas nalar, bukan prasangka. Setiap tuduhan harus diuji secara hukum dan disertai bukti yang otentik. Jika logika publik terus dikotori oleh narasi tanpa dasar, kita sedang menurunkan standar berpikir bangsa dan mengubah demokrasi menjadi pasar rumor.
Literasi digital dan pendidikan publik perlu diperkuat untuk membangun daya tangkal masyarakat terhadap hoaks dan narasi menyesatkan. Media juga perlu mengambil posisi yang lebih tegas, menolak untuk memberikan panggung pada disinformasi. Kritik terhadap pemimpin negara adalah hak demokratis, tetapi harus dibedakan dari fitnah.
Kita harus belajar membedakan kritik yang membangun dari tuduhan yang menyesatkan. Kita butuh nalar, bukan prasangka; butuh bukti, bukan sensasi.