Urgensi Pembaruan Hukum Konsumen di Era Digital: Menuju Perlindungan yang Lebih Komprehensif

Menimbang Kembali Perlindungan Konsumen di Era Digital

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang telah berusia 25 tahun, kini menghadapi tantangan serius di era ekonomi digital. Alih-alih menjadi perisai yang kokoh bagi konsumen, undang-undang ini terkesan ketinggalan zaman, tidak mampu menjangkau kompleksitas transaksi modern dan global.

Kondisi ini menempatkan Indonesia pada titik kritis. Regulasi yang usang, perlindungan yang rapuh, dan implementasi standar internasional yang setengah-setengah, menjadi isu utama yang perlu segera diatasi. Semangat awal UUPK untuk melindungi konsumen sebagai pihak yang lemah dalam hubungan hukum, terbentur pada realitas pengawasan yang minim, penegakan hukum yang lemah, dan tingkat literasi konsumen yang rendah.

Banyak konsumen menjadi korban penipuan produk palsu, iklan menyesatkan, atau penyalahgunaan data pribadi. Namun, mereka seringkali tidak tahu kemana harus mengadu, atau memilih untuk diam karena merasa negara kurang memberikan perlindungan yang memadai. Perkembangan pesat e-commerce dan transaksi lintas negara semakin memperumit situasi ini.

Kesenjangan Hukum di Era Digital dan Global

UUPK belum secara komprehensif mengatur tanggung jawab platform digital, pertanggungjawaban lintas batas (cross-border liability), mekanisme penyelesaian sengketa elektronik, atau implikasi penggunaan algoritma dan kecerdasan buatan dalam membentuk pola konsumsi masyarakat. Bahkan, definisi konsumen dalam Pasal 1 UUPK masih terbatas pada "pemakai barang dan/atau jasa", belum mencakup konsep modern seperti subjek data (data subject) atau konsumen digital (digital consumer).

Walaupun Indonesia aktif dalam forum dan komitmen internasional seperti UNCTAD, WTO, dan ACCP, implementasi panduan penting seperti United Nations Guidelines for Consumer Protection (UNGCP) masih belum jelas. Panduan yang diperbarui pada tahun 2015 ini seharusnya menjadi kerangka kerja strategis bagi negara berkembang untuk melindungi konsumen dari praktik tidak etis, monopoli, dan penyalahgunaan kekuatan ekonomi.

Sayangnya, prinsip-prinsip seperti akses terhadap keadilan (access to justice), hak atas ganti rugi (right to redress), edukasi konsumen (consumer education), iklan yang jujur (honest advertising), dan konsumsi berkelanjutan (sustainable consumption) masih sebatas jargon dalam dokumen internasional, tanpa implementasi nyata dalam peraturan perundang-undangan nasional.

Sementara negara lain, seperti Uni Eropa dengan Digital Services Act dan GDPR, serta Australia dengan reformasi Consumer Law, Indonesia masih berfokus pada mekanisme pengaduan manual dan solusi kasus per kasus yang seringkali tidak tuntas. Konsumen digital di Indonesia, terutama pengguna platform besar, tidak memiliki kejelasan perlindungan hukum jika terjadi pelanggaran seperti penipuan, kebocoran data, atau diskriminasi algoritma.

Transaksi lintas batas juga terkendala kurangnya instrumen hukum yang memadai. Konsumen yang membeli produk dari luar negeri melalui e-commerce lintas negara akan kesulitan mencari ganti rugi jika terjadi cacat produk atau penipuan. Indonesia belum memiliki mekanisme ganti rugi lintas batas (cross-border redress mechanism) atau nota kesepahaman (MoU) yang kuat di bidang perlindungan konsumen digital.

Mendesak: Revitalisasi Hukum dan Penguatan Kelembagaan

UUPK juga belum mengatur otoritas tunggal yang independen untuk mengawasi dan menegakkan hukum konsumen. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), yang seharusnya menjadi penggerak utama, tidak memiliki kekuatan penegakan hukum (law enforcement power) dan hanya bersifat rekomendatif. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) pun tersebar dan memiliki kapasitas yang tidak konsisten, membuat konsumen kebingungan dengan struktur kelembagaan yang tidak jelas.

Oleh karena itu, revitalisasi hukum konsumen nasional menjadi sangat mendesak. Revisi total UUPK harus segera dilakukan dengan memasukkan prinsip-prinsip dari UNGCP, rekomendasi OECD, dan praktik terbaik dari negara-negara maju. Hukum Indonesia harus mengakomodasi tanggung jawab atas transaksi digital, perlindungan data pribadi konsumen, implikasi algoritma, dan peran platform sebagai intermediary liability.

Pembentukan Ombudsman Konsumen Nasional yang independen, dengan kewenangan penyidikan dan pemberian sanksi administratif, juga sangat penting. Lembaga ini harus mampu menindaklanjuti pengaduan konsumen dengan cepat dan transparan, serta menjadi pusat edukasi publik tentang hak dan kewajiban konsumen.

Pemerintah juga perlu aktif dalam diplomasi hukum konsumen internasional. Harmonisasi aturan perdagangan digital harus menjadi bagian dari negosiasi perdagangan bebas dan perjanjian ekonomi bilateral maupun multilateral. Perjanjian perdagangan bebas tidak boleh hanya berfokus pada tarif dan ekspor, tetapi juga standar perlindungan konsumen yang setara.

Terakhir, kurikulum pendidikan nasional harus memasukkan literasi konsumen, terutama bagi generasi muda. Di era yang penuh dengan iklan terselubung dan manipulasi digital, masyarakat perlu dibekali dengan nalar kritis, bukan hanya perangkat lunak.

Perlindungan konsumen adalah instrumen keadilan sosial dan demokrasi ekonomi. Negara yang gagal melindungi konsumennya sama dengan membiarkan rakyatnya menjadi korban pasar. Di Indonesia, di mana mayoritas konsumen berasal dari kelas menengah ke bawah, perlindungan konsumen seharusnya menjadi wujud nyata kehadiran negara.

Pembaruan hukum konsumen bukan sekadar persoalan teknis legislasi, tetapi juga persoalan ideologi: siapa yang hendak dilindungi, siapa yang hendak dibela. Jika negara hanya melayani kepentingan produsen besar dan penyedia platform global, rakyat hanya akan menjadi angka statistik belaka. Ratifikasi perjanjian internasional tidak boleh setengah-setengah. Perlindungan konsumen tidak boleh hanya menjadi teks hukum. Indonesia harus hadir sepenuhnya dengan niat, keberanian, dan hukum yang adil di tengah persaingan pasar global yang semakin tidak menentu.