Polemik Pembebasan Puluhan Terduga Pelaku Passobis di Sulsel: Analisis Pakar Hukum
Pembebasan 37 Terduga Pelaku Passobis Picu Perdebatan Hukum di Sulawesi Selatan
Kasus pembebasan 37 orang yang diduga terlibat dalam sindikat penipuan online atau dikenal dengan istilah Passobis di Sulawesi Selatan (Sulsel) oleh Polda Sulsel menuai sorotan tajam. Sebelumnya, mereka diamankan oleh Kodam XIV Hasanuddin, namun kemudian diserahkan ke pihak kepolisian.
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulsel memutuskan untuk tidak menahan 37 orang tersebut karena minimnya bukti yang mengarah pada keterlibatan mereka dalam tindak pidana penipuan. Mereka hanya dikenakan wajib lapor. Sementara itu, tiga orang lainnya masih ditahan dan menjalani pemeriksaan intensif.
Keputusan ini memicu pertanyaan mengenai prosedur penangkapan dan penahanan yang dilakukan. Prof. Heri Tahir, seorang pakar hukum pidana dan kriminolog dari Universitas Negeri Makassar (UNM), memberikan pandangannya terkait kasus ini.
Menurut Prof. Heri, dalam konteks hukum pidana, penangkapan idealnya dilakukan oleh penyidik kepolisian. Meskipun demikian, penangkapan oleh pihak lain dimungkinkan jika terjadi tertangkap tangan, dengan catatan bahwa pelaku harus segera diserahkan kepada penyidik.
"Kewenangan penangkapan memang ada pada penyidik. Namun, dalam situasi tertangkap tangan, siapapun berhak menangkap, asalkan segera menyerahkan pelaku ke penyidik," jelas Prof. Heri.
Ia juga menilai bahwa langkah Polda Sulsel yang menerapkan wajib lapor terhadap 37 orang tersebut sudah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Sebelum dilakukan penyidikan, perlu dilakukan penyelidikan untuk memastikan adanya tindak pidana.
"Penyidikan memerlukan minimal dua alat bukti yang sah. Penangkapan pun demikian, tidak bisa dilakukan sembarangan karena menyangkut hak asasi manusia, khususnya kebebasan bergerak seseorang," tegasnya.
Prof. Heri menekankan pentingnya kehati-hatian dalam proses penangkapan. Seseorang yang ditangkap memiliki hak untuk dibebaskan demi hukum jika dalam waktu 24 jam tidak terbukti melakukan tindak pidana.
Lebih lanjut, Prof. Heri menjelaskan bahwa tindak pidana penipuan termasuk dalam kategori delik biasa, bukan delik aduan. Artinya, polisi dapat menindaklanjuti kasus penipuan meskipun tidak ada laporan resmi dari korban, asalkan terdapat indikasi kuat dan bukti yang cukup.
"Penipuan itu delik biasa, bukan delik aduan. Jadi, tanpa laporan pun, polisi bisa bertindak jika ada indikasi dan bukti," ujarnya.
Namun, Prof. Heri mengingatkan bahwa penanganan kasus penipuan, termasuk proses penangkapan dan penyidikan, harus dilakukan dengan cermat dan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Hal ini penting untuk menghindari pelanggaran hak asasi manusia dan memastikan proses hukum berjalan adil.
Ia menyoroti perbedaan pemahaman masyarakat mengenai delik aduan dan delik biasa. Banyak yang belum memahami bahwa penipuan termasuk delik biasa yang bisa ditindaklanjuti tanpa laporan, asalkan ada bukti yang cukup.
Prof. Heri juga menyinggung tentang ancaman hukuman dalam kasus penipuan. Meskipun ancaman hukumannya di bawah 5 tahun, penahanan tetap dimungkinkan dalam kondisi tertentu, seperti halnya pada kasus penganiayaan.