Dampak Kenaikan Harga Beras di Jepang: Diaspora Indonesia Atur Strategi Bertahan Hidup
Lonjakan harga beras di Jepang, yang mencapai titik tertinggi pada bulan April dengan harga 4.217 yen (sekitar Rp 500 ribu) per 5 kilogram, telah memaksa warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di sana untuk menyesuaikan gaya hidup mereka. Kenaikan signifikan ini telah memicu kekhawatiran di kalangan diaspora Indonesia, yang kini harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Beberapa WNI mengambil langkah-langkah inovatif untuk mengatasi masalah ini. Pingkan Afgatiani, Ketua PPI Komisariat Okinawa periode 2024-2025, berbagi pengalamannya dalam mengganti nasi dengan sumber karbohidrat alternatif seperti ubi, kentang, dan labu. Strategi ini membantu mengurangi ketergantungan pada beras yang harganya terus melonjak. Upaya lain termasuk membandingkan harga beras di berbagai supermarket untuk mendapatkan penawaran terbaik.
Kenaikan harga beras ini menjadi yang paling signifikan selama Pingkan tinggal di Jepang. Pada tahun 2022, ia masih dapat membeli beras berkualitas baik seharga 2.000 yen untuk 5 kilogram. Namun, saat ini, harga rata-rata beras telah melampaui 4.000 yen, sebuah peningkatan yang sangat terasa.
Cerita serupa datang dari Ahmad Naeni, Ketua Divisi Advokasi Ikatan Perawat Muslim Indonesia (IPMI) Jepang. Ia mengaku sangat terpengaruh oleh kenaikan harga beras dan harus memutar otak untuk menekan biaya hidup. Sebagai alternatif, Ahmad memilih untuk mengonsumsi ramen dan udon sebagai pengganti nasi. Selain itu, ia juga terpaksa mengurangi jumlah tabungannya untuk memenuhi kebutuhan pokok yang semakin mahal.
Nurhanifah, pemilik Restoran Padang Amanah Mande di Kanagawa, juga merasakan dampak langsung dari lonjakan harga beras. Sebagai pelaku usaha kuliner yang mengandalkan nasi sebagai bahan utama, ia menghadapi dilema antara menaikkan harga makanan dan mempertahankan pelanggan. Tanpa bantuan konkret dari pemerintah, Nurhanifah harus mencari cara kreatif agar bisnisnya tetap berjalan tanpa mengorbankan kualitas makanan atau kehilangan pelanggan setia.
Pemerintah Jepang telah berupaya menstabilkan harga beras melalui pelelangan cadangan beras darurat. Tahap I telah menyalurkan 140.000 ton beras, dan Tahap III akan mengalokasikan 100.000 ton lagi pada 23-25 April. Meskipun demikian, dampak dari upaya ini belum sepenuhnya dirasakan oleh para WNI dan pelaku usaha kuliner.
Berikut adalah beberapa strategi yang diadopsi oleh diaspora Indonesia di Jepang untuk menghadapi kenaikan harga beras:
- Substitusi Karbohidrat: Mengganti nasi dengan sumber karbohidrat alternatif seperti ubi, kentang, dan labu.
- Perbandingan Harga: Membandingkan harga beras di berbagai supermarket untuk mendapatkan penawaran terbaik.
- Pengurangan Konsumsi Nasi: Mengurangi frekuensi konsumsi nasi dan menggantinya dengan makanan lain seperti ramen dan udon.
- Penghematan Tabungan: Mengurangi jumlah tabungan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang semakin mahal.
- Inovasi Kuliner: Mencari cara kreatif untuk mempertahankan bisnis kuliner tanpa mengorbankan kualitas makanan atau kehilangan pelanggan.