Polemik Jembatan Perahu Karawang: Antara Regulasi dan Mata Pencaharian Warga

Dilema Jembatan Perahu di Karawang: Nasib Warga Dipertaruhkan

Karawang, Jawa Barat - Keberadaan jembatan perahu di Karawang, Jawa Barat, tengah menjadi sorotan. Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum memasang spanduk peringatan yang menyatakan bahwa jembatan tersebut tidak memiliki izin resmi, memicu kekhawatiran penutupan. Pemilik jembatan, Muhammad Endang Junaedi, mengungkapkan kekhawatirannya atas dampak penutupan terhadap masyarakat sekitar, terutama dari sisi ekonomi.

Endang menjelaskan bahwa sejak jembatan tersebut beroperasi, perekonomian warga sekitar mengalami peningkatan signifikan. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tumbuh subur di sepanjang jalan menuju jembatan yang menghubungkan Desa Anggadita dan Desa Parungmulya. Lebih lanjut, ia menekankan bahwa jembatan tersebut menjadi sumber mata pencaharian bagi sekitar 40 warga setempat, belum termasuk keluarga dan anak-anak mereka. Penutupan jembatan, menurutnya, akan menghilangkan sumber pendapatan mereka dan berpotensi menimbulkan masalah sosial.

Warga setempat pun menunjukkan penolakan terhadap potensi penutupan jembatan dengan mencopot spanduk peringatan yang dipasang oleh BBWS Citarum. Tindakan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam mereka terhadap hilangnya akses ekonomi dan transportasi yang selama ini dimudahkan oleh jembatan tersebut.

BBWS Citarum, melalui akun Instagram resminya, menjelaskan bahwa pembangunan dan pengoperasian jembatan perahu tanpa izin melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air serta Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015. Pemanfaatan sempadan sungai, menurut regulasi tersebut, harus mendapatkan izin dari pemerintah. Keberadaan jembatan tanpa izin dinilai berpotensi mengganggu fungsi alami sungai, terutama saat debit air meningkat atau terjadi bencana banjir.

BBWS Citarum berharap pemasangan spanduk dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi sumber daya air dan mendorong koordinasi antara pengelola jembatan, pemerintah daerah, dan BBWS Citarum untuk mencari solusi terbaik. Namun, penolakan warga terhadap penutupan jembatan menunjukkan adanya kebutuhan untuk mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi dalam penerapan regulasi.

Kasus jembatan perahu di Karawang ini menjadi contoh kompleksitas dalam pengelolaan sumber daya alam, di mana kepentingan regulasi dan mata pencaharian masyarakat saling berbenturan. Diperlukan dialog yang konstruktif antara semua pihak terkait untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan, yang tidak hanya mematuhi peraturan tetapi juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat.

Berikut adalah poin-poin regulasi yang menjadi dasar pertimbangan BBWS Citarum:

  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air: Mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air, termasuk di dalamnya pemanfaatan sempadan sungai.
  • Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015: Mengatur tentang pemanfaatan sempadan sungai, yang hanya diperbolehkan untuk kegiatan tertentu dan harus mendapatkan izin dari pemerintah.