Tenun Baduy: Upaya Pelestarian Warisan Budaya Banten oleh Pengusaha Lokal

Banten, sebuah provinsi yang kaya akan warisan budaya, memiliki permata tersembunyi dalam dunia tekstil: tenun Baduy. Kain tenun ini, hasil karya masyarakat adat Baduy, memancarkan keindahan yang bersahaja melalui pola-pola geometrisnya yang khas. Meskipun belum sepopuler kain tenun dari daerah lain seperti Ulos dari Sumatera Utara atau Songket dari Sumatera Barat, tenun Baduy menyimpan potensi besar untuk dikenal lebih luas.

Kisah tentang upaya mengangkat pamor tenun Baduy ini melibatkan para pengusaha lokal yang memiliki visi untuk melestarikan dan memperkenalkan warisan budaya ini kepada dunia. Tries Yuliany Fransiska, seorang pengusaha craft berdarah Batak yang tinggal di Banten, adalah salah satu sosok yang terpanggil untuk mewujudkan visi tersebut. Melalui mereknya, Tries Hands, ia menciptakan produk-produk craft yang memadukan keindahan tenun Baduy dengan desain modern yang menarik.

"Saya pikir, Ulos sudah terkenal. Tenun Baduy baru terkenal akhir-akhir ini, tapi kebanyakan konsumen tuh nggak ngenalin," ujar Tries, mengungkapkan alasannya memilih tenun Baduy sebagai ciri khas usahanya. Ia merasa bertanggung jawab untuk memperkenalkan wastra (wawasan nusantara) ini kepada masyarakat luas. Usaha yang ditekuninya sejak 2016 semakin serius dijalankan pada tahun 2020, saat pandemi Covid-19 melanda. Tries mulai berkreasi dengan tenun Baduy setelah sebelumnya menggunakan kain katun dan kanvas.

Tenun Baduy, meskipun tampak sederhana, memiliki daya tarik filosofis yang mendalam. Dikerjakan oleh masyarakat Baduy Luar sebagai kegiatan sampingan, selembar kain tenun dapat memakan waktu hingga seminggu untuk diselesaikan. Hal ini tentu memengaruhi harganya, yang relatif tinggi. Tries menyiasati hal ini dengan mengombinasikan tenun Baduy dengan bahan lain, sehingga menghasilkan produk yang tetap etnik namun terjangkau bagi konsumen.

Selain harga, Tries juga memperhatikan segmentasi usia. Ia ingin agar produk tenunnya tidak hanya diminati oleh orang tua, tetapi juga oleh anak muda. "Bagaimana caranya anak muda juga bisa kenal? Karena orang mikirnya kalau pakai bahan tenun itu yang pakai orang-orang tua. Makanya saya bikin pouch, bisa kan orang pakai untuk sehari-hari. Kita coba memasukkan budaya supaya bisa dipakai ke produk kekinian," jelasnya.

Mimpi besar Tries adalah agar tenun Baduy dapat dikenal seluas tenun-tenun daerah lain, seperti tenun NTT yang telah merambah pasar mancanegara berkat sentuhan para desainer ternama. Ia berharap para desainer juga tertarik untuk datang ke Banten dan memberikan masukan kepada pengrajin Baduy, sehingga tenun Baduy dapat berkembang dengan motif dan warna yang lebih bervariasi dan kekinian.

Senada dengan Tries, Nia Alina, seorang pengusaha fashion, juga memiliki perhatian yang besar terhadap tenun Baduy. Ia memulai kreasi tenunnya sejak tahun 2015, setelah mengikuti Seba Baduy yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Banten. Saat itu, ia berkenalan dengan para pengrajin tenun Baduy.

"Pertama itu bikin sepatu wedges dari tenun Baduy, karena saya pernah menang lomba desain wedges di Bandung," cerita Nia. Menurutnya, daya tarik utama tenun Baduy adalah desainnya yang elegan dan sederhana. Ia berharap semakin banyak pelaku UMKM craft dan fashion yang mengaplikasikan tenun Baduy pada produk-produk mereka, sehingga tenun Baduy semakin dikenal dan diminati, bahkan hingga ke mancanegara.

Plt Kepala Dinas Pariwisata Banten, Linda Rihyati Fatimah, menegaskan bahwa tenun Baduy merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Banten. Motif tenun Baduy memiliki ciri khas yang unik dan mencerminkan filosofi hidup suku Baduy yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan keharmonisan dengan alam.

Untuk meningkatkan daya saing tenun Baduy, Dispar Banten secara rutin menyelenggarakan pelatihan bagi pelaku usaha tenun. Mereka juga menggandeng desainer untuk memberikan sentuhan kreativitas tanpa mengubah nilai dan makna yang terkandung dalam tenun Baduy. Selain itu, Dispar Banten juga mengembangkan media promosi digital untuk memperluas jangkauan pemasaran tenun Baduy.

Linda juga mengimbau para pelaku UMKM craft dan fashion untuk turut berpartisipasi dalam memperkenalkan tenun Baduy sebagai kekayaan budaya Banten, dengan menjadikannya sebagai bahan utama atau kombinasi dalam produk kreasi mereka.

Upaya pelestarian dan promosi tenun Baduy ini juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Rumah BUMN BRI Jakarta. Tries, sebagai salah satu anggota ASIPA Tangsel yang menjadi binaan Rumah BUMN BRI, merasakan manfaat yang besar dari pelatihan dan fasilitas pameran yang diberikan. BRI juga memberikan penawaran pinjaman kepada para anggota ASIPA Tangsel yang membutuhkan modal usaha.

Bazar UMKM yang diadakan di BRI Kanwil Jakarta 3 merupakan salah satu bentuk kontribusi BRI KCP Ciledug dalam memberdayakan UMKM setempat. Pincapem BRI KCP Ciledug, Dafi Qisthi, melihat potensi besar dalam asosiasi pelaku industri kreatif seperti ASIPA, dan menawarkan kerja sama berupa pameran atau bazar untuk membantu pemasaran produk-produk mereka.

Kisah tentang tenun Baduy ini adalah kisah tentang semangat pelestarian warisan budaya, kolaborasi antara pengusaha lokal, pemerintah, dan lembaga keuangan, serta harapan akan masa depan yang lebih cerah bagi tenun Baduy dan para pengrajinnya.