Kontroversi Jembatan Haji Endang di Karawang: Antara Aksesibilitas Warga dan Regulasi Pemerintah
Jembatan Haji Endang, sebuah infrastruktur penghubung di Desa Anggadita, Kecamatan Klari, Karawang, Jawa Barat, kini menjadi sorotan. Keberadaannya yang memudahkan mobilitas warga setempat berbenturan dengan regulasi pemerintah terkait pengelolaan sumber daya air.
Inisiatif pembangunan jembatan ini bermula dari keprihatinan seorang tokoh masyarakat, Muhammad Endang Junaedi, atau yang akrab disapa Haji Endang. Pada tahun 2010, ia menerima keluhan dari warga Dusun Rumambe mengenai isolasi wilayah mereka akibat akses yang terbatas. Terinspirasi dari tempat penyeberangan kerbau tradisional, Haji Endang bertekad untuk membangun jembatan yang layak.
Meski telah mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB), keberadaan Jembatan Haji Endang dipersoalkan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum. Pihak BBWS memasang spanduk yang menyatakan bahwa jembatan tersebut tidak memiliki izin resmi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015.
- Sejarah Pembangunan: Haji Endang mengklaim telah membangun jembatan ini dengan modal pribadi sebesar Rp 5 miliar. Pembangunan dimulai dengan struktur kayu, namun setelah sempat karam pada tahun 2014, jembatan tersebut direkonstruksi menggunakan material besi dan ponton.
- Manfaat Ekonomi: Jembatan Haji Endang menjadi urat nadi perekonomian warga sekitar. Dengan tarif Rp 2.000 per penyeberangan, jembatan ini menghasilkan omzet sekitar Rp 20 juta per hari. Dana tersebut digunakan untuk operasional, perawatan, penerangan, upah pekerja, dan perbaikan akses jalan.
- Tanggapan BBWS Citarum: BBWS Citarum berpendapat bahwa pembangunan dan pengoperasian jembatan tanpa izin melanggar undang-undang terkait sumber daya air. Selain itu, keberadaan jembatan dianggap dapat mengganggu fungsi sungai, terutama saat debit air meningkat atau terjadi banjir. BBWS Citarum mendorong koordinasi antara pengelola jembatan, pemerintah daerah, dan BBWS untuk mencari solusi terbaik.
- Pembelaan Haji Endang: Haji Endang menyayangkan protes BBWS yang baru muncul setelah 15 tahun jembatan tersebut beroperasi. Ia menekankan bahwa jembatan ini memberikan manfaat besar bagi masyarakat, meskipun ia mengakui bahwa izinnya mungkin belum sepenuhnya sesuai dengan prosedur.
Kasus Jembatan Haji Endang ini memicu perdebatan mengenai keseimbangan antara kepentingan masyarakat lokal, pertumbuhan ekonomi, dan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan. Pemerintah daerah diharapkan dapat menjembatani perbedaan pandangan antara pengelola jembatan dan BBWS Citarum untuk mencari solusi yang berkelanjutan.