Aplikator Transportasi Daring Pertahankan Skema Kemitraan untuk Pengemudi Ojol di Tengah Wacana Status Pekerja Tetap

Wacana perubahan status pengemudi ojek online (ojol) menjadi pekerja tetap terus bergulir, memicu respons dari berbagai pihak, termasuk para aplikator transportasi daring. Grab Indonesia dan Maxim Indonesia, dua pemain utama dalam industri ini, menyampaikan pandangan mereka terkait isu tersebut.

Kedua perusahaan tersebut sepakat bahwa model kemitraan yang selama ini diterapkan masih menjadi pendekatan yang paling sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan pengemudi ojol. Mereka berpendapat bahwa skema ini menawarkan fleksibilitas yang tidak dapat dipenuhi oleh sistem kerja konvensional.

PR Specialist Maxim Indonesia, Yuan Ifdal Khoir, menjelaskan bahwa konsep karyawan tetap, dengan segala konsekuensinya, tidak sejalan dengan fleksibilitas yang selama ini dinikmati oleh para pengemudi ojol. Ia mencontohkan, status karyawan tetap umumnya mensyaratkan jam kerja minimal 40 jam per minggu, jadwal kerja yang terstruktur, dan fokus pada satu aplikator pemberi kerja saja.

"Berdasarkan data internal kami, sekitar 80 persen pengemudi Maxim tidak bekerja lebih dari empat jam per minggu," ungkap Yuan. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pengemudi yang menjadikan pekerjaan sebagai pengemudi ojol sebagai sumber penghasilan tambahan, bukan sebagai pekerjaan utama dengan komitmen waktu yang penuh.

Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy, menambahkan bahwa skema kemitraan memberikan fleksibilitas bagi mitra pengemudi untuk mengatur waktu kerja sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, model ini juga membuka peluang bagi masyarakat luas untuk memperoleh penghasilan tambahan secara mandiri dan berkelanjutan. Tirza juga menekankan bahwa kemitraan ini dapat menjadi sumber pendapatan yang diandalkan, terutama di masa transisi atau saat menghadapi tantangan ekonomi.

Di sisi lain, Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) melalui ketuanya, Lily Pujiati, berpendapat bahwa pengemudi ojol, taksi online, dan kurir seharusnya memiliki status sebagai pekerja tetap. Lily merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur hubungan kerja berdasarkan unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

"Hubungan antara perusahaan platform dengan pengemudi ojol, taksi online, dan kurir memenuhi ketiga unsur tersebut," tegas Lily. Ia berpendapat bahwa penetapan jenis pekerjaan dan upah oleh aplikasi menunjukkan adanya unsur perintah dalam hubungan kerja tersebut. Oleh karena itu, SPAI mendesak agar hubungan kerja ini diakui secara hukum sebagai hubungan antara pekerja dan pemberi kerja.

Perdebatan mengenai status pengemudi ojol ini mencerminkan kompleksitas dan dinamika dalam dunia kerja modern, di mana teknologi dan platform digital memainkan peran yang semakin besar. Perbedaan pandangan antara aplikator dan serikat pekerja menyoroti pentingnya mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh pihak yang terlibat.

Berikut adalah poin-poin yang menjadi perhatian:

  • Fleksibilitas vs. Kepastian: Aplikator menekankan fleksibilitas yang ditawarkan oleh skema kemitraan, sementara serikat pekerja menuntut kepastian dan perlindungan yang lebih baik bagi pengemudi.
  • Definisi Hubungan Kerja: Perbedaan interpretasi mengenai unsur-unsur hubungan kerja menjadi kunci dalam menentukan status pengemudi.
  • Perlindungan Hukum: Serikat pekerja berupaya memperjuangkan pengakuan hukum atas hak-hak pengemudi sebagai pekerja.
  • Dampak Ekonomi: Model kemitraan memberikan peluang penghasilan tambahan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengenai stabilitas dan keberlanjutan pendapatan.

Wacana ini terus berkembang dan membutuhkan dialog yang konstruktif antara aplikator, pengemudi, serikat pekerja, dan pemerintah untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dan sesuai dengan perkembangan zaman.