Implementasi Opsen Pajak Picu Gejolak di Industri Otomotif dan Anggaran Daerah

Gelombang disrupsi menghantam industri otomotif nasional sejak implementasi opsen pajak kendaraan bermotor. Kebijakan ini, yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah, justru memicu polemik dan keluhan dari berbagai pihak, mulai dari pelaku industri hingga pemerintah daerah. Data penjualan kendaraan pada kuartal pertama 2025 menjadi indikasi awal dampak negatif yang ditimbulkan.

Penurunan Penjualan yang Signifikan

Berdasarkan data yang dirilis oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil pada periode Januari hingga Maret 2025 mengalami penurunan sebesar 8,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Total penjualan retail hanya mencapai 210.483 unit, jauh di bawah angka 231.027 unit yang tercatat pada kuartal pertama 2024.

Direktur Pemasaran PT Astra Daihatsu Motor (ADM), Sri Agung Handayani, mengungkapkan bahwa opsen pajak kendaraan menjadi salah satu faktor utama yang memicu penurunan ini. Ia menyoroti bahwa ketidakjelasan informasi terkait opsen pajak pada awal Januari 2025 membuat konsumen menunda pembelian, bahkan beralih membeli kendaraan pada akhir tahun 2024 untuk menghindari beban pajak tambahan.

"Informasi yang jelas terkait opsen baru kami terima pada 13 Januari. Hal ini menyebabkan pasar terendah terjadi di Januari," ujarnya.

Agung menambahkan, penurunan ini berimbas pada capaian penjualan bulanan. Meskipun pasar Februari menunjukkan pemulihan tipis, dengan penjualan sekitar 70 ribu unit, angka ini masih sedikit di atas capaian tahun sebelumnya (69,8 ribu unit). Harapan untuk mencapai angka 82 ribu unit pada Maret, setara dengan capaian tahun lalu, pun pupus karena realisasi hanya mencapai 76,6 ribu unit.

Dampak pada Pendapatan Daerah

Penurunan penjualan kendaraan bermotor tidak hanya dirasakan oleh pelaku industri, tetapi juga berdampak pada pendapatan pemerintah daerah. Sekretaris Gaikindo, Kukuh Kumara, menjelaskan bahwa idealnya, peningkatan penjualan kendaraan akan berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan daerah dari sektor pajak kendaraan bermotor. Namun, dengan kondisi penjualan yang lesu, harapan ini sulit terwujud.

Keluhan serupa juga datang dari Pemerintah Provinsi Banten. Gubernur Andra Soni menyampaikan kekhawatiran terkait penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) akibat penerapan opsen pajak kendaraan. Dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, Andra mengungkapkan bahwa realisasi APBD Banten per 25 April 2025 baru mencapai 19,84 persen (Rp 2,23 triliun) dari target Rp 11,767 triliun.

"Mengalami penurunan dari target karena sejak pemberlakuan opsen pajak tahun 2025," tegasnya.

Andra menambahkan, rasio kemandirian Provinsi Banten saat ini berada di angka 70,69 persen, yang berarti sebagian besar anggaran daerah masih bergantung pada PAD, terutama dari sektor pajak kendaraan bermotor. Ia menyoroti bahwa salah satu dampak negatif opsen pajak adalah migrasi pembelian kendaraan ke wilayah Jakarta, di mana kebijakan ini tidak berlaku.

"Karena DKJ (Daerah Khusus Jakarta) dengan Banten atau provinsi lain, khususnya Banten dengan DKJ, perbedaannya adalah DKJ tidak ada opsen, kemudian marketnya sama. Jadi hari ini lebih banyak orang membeli kendaraan bermotor mengarah ke DKJ. Karena mereka nggak ada opsen," pungkasnya.

Kebijakan opsen pajak kendaraan bermotor ini, yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah, justru menimbulkan berbagai masalah dan perlu dievaluasi lebih lanjut agar tidak kontraproduktif terhadap pertumbuhan industri otomotif dan perekonomian daerah.