Dilema Kebijakan Pendidikan: Antara Sekolah Unggulan dan Sekolah untuk Masyarakat Kurang Mampu, Sebuah Potensi Perpecahan?
Dalam persiapan menyambut Indonesia Emas 2045, pemerintah mencanangkan dua inisiatif pendidikan yang sekilas tampak progresif: Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat. Sekolah Garuda diproyeksikan sebagai wadah bagi siswa berprestasi tinggi, dengan fokus mengantarkan mereka ke universitas-universitas ternama di kancah global. Sementara itu, Sekolah Rakyat dirancang untuk menjangkau anak-anak dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang sulit, menjanjikan pemenuhan kebutuhan dasar dan pembentukan karakter.
Namun, di balik tujuan mulia tersebut, tersimpan potensi masalah yang dapat memperlebar jurang kesenjangan sosial dalam sistem pendidikan nasional. Alih-alih menjadi jembatan kesetaraan, kedua kebijakan ini justru berpotensi memperkuat stratifikasi sosial yang telah lama menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Sekolah Garuda, dengan fasilitas mewah dan proses seleksi yang ketat, berpotensi menjadi simbol eksklusivitas yang hanya mengangkat segelintir siswa "terpilih" ke puncak pendidikan. Di sisi lain, Sekolah Rakyat, meskipun bertujuan mulia, dapat terjebak dalam narasi penyelamatan kelompok termarjinalkan, memberikan bekal yang cukup untuk bertahan hidup, tetapi belum tentu cukup untuk bersaing di arena global.
Implikasinya, pendidikan tidak lagi menjadi ruang inklusif, melainkan arena segregasi berdasarkan kondisi ekonomi dan potensi individu. Kondisi ini memicu polarisasi yang semakin tajam: di satu sisi, muncul elite intelektual dengan akses ke dunia global; di sisi lain, terdapat keterbatasan yang dibungkus dengan semangat kerakyatan. Pendekatan yang terlalu berbeda dalam satu sistem kebijakan berpotensi menciptakan batasan sosial yang semakin sulit ditembus. Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial, berisiko berubah menjadi alat untuk melanggengkan status quo.
Bahaya laten lainnya adalah potensi stigma seumur hidup. Lulusan Sekolah Rakyat, meskipun berprestasi, akan selalu dibayangi oleh label "produk bantuan sosial". Stigma ini, meski tidak terucap, dapat memengaruhi proses penerimaan kerja, interaksi sosial, dan bahkan persepsi diri individu tersebut. Pendidikan yang memisahkan berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi dapat merampas hak anak untuk tumbuh dengan percaya diri dan keyakinan bahwa dirinya setara dengan individu lainnya.
Di sisi lain, Sekolah Garuda juga tidak terlepas dari masalah. Eksklusivitas dan prestise yang melekat pada sekolah ini berpotensi membentuk generasi yang terisolasi dari realitas sosial di sekitarnya. Para siswa Sekolah Garuda mungkin memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni, tetapi tanpa pemahaman mendalam tentang keberagaman sosial dan dinamika ketimpangan, mereka berisiko tumbuh dalam "gelembung elit" yang rapuh. Ini adalah konsekuensi dari pemisahan sistemik yang tidak hanya membedakan akses, tetapi juga pengalaman hidup.
Dampak jangka panjangnya sangat luas. Anak-anak dari keluarga kurang mampu yang masuk Sekolah Rakyat akan tumbuh dengan realitas yang dibingkai sebagai "penerima manfaat", sementara anak-anak Sekolah Garuda akan dibentuk menjadi "pemimpin masa depan". Narasi ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga merusak. Ia menciptakan dua generasi yang berjalan di jalur yang berbeda: satu dibimbing menuju pusat kekuasaan dan pengaruh, yang lain diarahkan untuk sekadar bertahan dalam batasan yang telah ditentukan.
Dalam konteks ideologi bangsa, pemisahan ini bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila kedua dan kelima. Pendidikan yang berkeadilan tidak mengenal pemisahan berdasarkan status ekonomi. Semua anak bangsa, tanpa terkecuali, harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang dalam sistem pendidikan yang inklusif dan setara. Ketika pemerintah memisahkan anak-anak berdasarkan kondisi ekonomi dan potensi intelektual, ini bukan hanya masalah kebijakan, tetapi juga pengkhianatan terhadap cita-cita luhur bangsa.
Sekolah seharusnya menjadi tempat untuk menumbuhkan mimpi, membangun solidaritas, dan menyatukan perbedaan, bukan tempat untuk mengklasifikasikan siapa yang layak masuk universitas top dunia dan siapa yang hanya pantas mendapat pelatihan keterampilan dasar. Ketika pendidikan justru menjadi alat klasifikasi sosial, yang hilang bukan hanya kesetaraan, tetapi juga semangat kebersamaan yang menjadi jantung bangsa.
Kebijakan semacam ini seharusnya diganti dengan pendekatan afirmasi yang lebih inklusif. Artinya, semua sekolah publik harus dibangun dengan kualitas yang merata, fasilitas yang layak, guru yang kompeten, dan sistem pendukung yang kuat bagi siswa dari latar belakang ekonomi yang sulit. Tidak perlu membangun sekolah khusus untuk anak miskin; cukup membuat semua sekolah mampu merangkul mereka.
Beasiswa, bimbingan belajar gratis, dan pelatihan pedagogi kritis bagi guru adalah contoh kebijakan yang lebih humanis dan menjangkau. Dengan pendekatan ini, siswa kurang mampu tetap berada dalam ruang yang sama dengan siswa lain, tetapi mereka diberikan dukungan ekstra agar dapat mengejar ketertinggalan dan berkembang sesuai potensi mereka. Inilah bentuk keadilan sosial yang tidak merendahkan martabat manusia.
Membangun sekolah elit dan sekolah rakyat secara terpisah juga mengirimkan pesan yang keliru tentang apa arti kecerdasan dan kesuksesan. Seakan-akan kecerdasan hanya milik mereka yang sejak awal terdeteksi unggul, sementara yang lain cukup diajarkan untuk "menjadi baik". Padahal, potensi manusia tidak dapat diukur secara sempit melalui tes akademik. Banyak siswa dari latar belakang kurang mampu yang unggul, hanya saja mereka belum diberi ruang untuk menunjukkan kemampuan mereka.
Alih-alih memisahkan, mengapa tidak menyatukan? Bayangkan jika seluruh SMA di Indonesia menjadi "Sekolah Garuda", bukan dalam kemewahan fisik, tetapi dalam semangat: semangat mutu, inklusivitas, dan kebersamaan. Pendidikan semacam ini akan menciptakan ruang belajar yang penuh keberagaman dan saling pengertian, di mana anak-anak dari berbagai latar belakang saling mengenal dan bertumbuh bersama.
Penting untuk diingat bahwa niat baik tidak selalu menghasilkan kebijakan yang baik. Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat mungkin dilahirkan dengan semangat untuk memperbaiki, tetapi jika arah kebijakannya memisahkan dan membatasi, maka itu bukan perbaikan, melainkan perpecahan. Dalam perjalanan menuju Indonesia Emas, pendidikan harus menjadi alat untuk menyatukan, bukan membelah.
Kita membutuhkan sistem pendidikan yang membebaskan semua anak dari belenggu kemiskinan, diskriminasi, dan stereotip. Keadilan dalam pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai memberikan sesuai kelas, tetapi memastikan semua anak, dari mana pun asalnya, dapat tumbuh sebagai anak bangsa yang bermartabat. Semua anak Indonesia adalah anak Garuda—dan setiap dari mereka pantas mendapat sayap untuk terbang setinggi mungkin.