Studi Ungkap Perempuan Lebih Rentan Terjerat Pinjaman Online Akibat Pola Konsumsi dan Pengaruh Sosial

Perempuan dan Jeratan Pinjaman Online: Analisis Sosiologis dan Data Korban

Sebuah studi terbaru menyoroti kerentanan perempuan terhadap jeratan pinjaman online (pinjol), mengaitkannya dengan pola konsumsi yang lebih tinggi dan pengaruh kuat dari lingkungan sosial serta media sosial. Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, mengungkapkan bahwa industri pinjol secara khusus menargetkan perempuan karena dinilai sebagai pasar yang menggiurkan.

"Perempuan secara global merupakan target pasar konsumsi utama. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana banyak merek global lebih fokus menyasar konsumen perempuan," jelas Rakhmat. Kebutuhan konsumsi perempuan yang beragam, mulai dari perawatan diri hingga kebutuhan rumah tangga, menjadi alasan utama. Ketika pendapatan tidak mencukupi, pinjol seringkali dianggap sebagai solusi cepat.

Namun, kemudahan akses pinjaman ini seringkali tidak diimbangi dengan pemahaman yang baik mengenai risiko finansial jangka panjang. Rendahnya literasi keuangan di kalangan perempuan menjadi faktor krusial yang menyebabkan mereka mudah terjerat. "Pola konsumsi yang tinggi ini beririsan dengan rendahnya literasi keuangan. Banyak perempuan belum sepenuhnya memahami risiko jangka panjang dari pinjol," tegas Rakhmat.

Kerentanan ini tidak terbatas pada kelompok sosial ekonomi tertentu. Perempuan dari berbagai lapisan masyarakat memiliki potensi yang sama untuk menjadi korban pinjol. Bagi mereka yang berada di kelas bawah, pinjol seringkali dianggap sebagai solusi instan untuk mengatasi tekanan ekonomi keluarga. Sementara itu, perempuan kelas menengah kerap kali terpengaruh oleh gaya hidup mewah yang dipromosikan di media sosial, sehingga mendorong mereka untuk mengambil pinjaman.

"Perempuan kelas menengah, misalnya, sering kali terdorong oleh gaya hidup glamor di media sosial. Ketika pendapatan tidak mencukupi, pinjol dianggap sebagai solusi instan," papar Rakhmat. Pengaruh lingkungan sosial juga memainkan peran penting. Perempuan cenderung memiliki lingkaran sosial yang erat, di mana keputusan konsumsi seringkali dipengaruhi oleh teman dan kolega. Hal ini dimanfaatkan oleh industri pinjol untuk mempromosikan produk konsumtif dan menawarkan pinjaman sebagai solusi instan.

Selain itu, Rakhmat menyoroti bahwa perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh iklan dan iming-iming karena sifat sosial yang kuat dalam komunitas. Hal ini menciptakan celah bagi promosi produk konsumtif dan pinjol yang agresif.

Data dari Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa mayoritas korban pinjol ilegal adalah perempuan. Dari 1.081 korban yang tercatat antara Januari hingga 31 Maret 2025, sebanyak 657 orang atau sekitar 61 persen adalah perempuan, sementara sisanya adalah laki-laki.

Rakhmat menekankan perlunya peningkatan literasi finansial yang berfokus pada gender dan pendekatan sosiologis untuk mengatasi masalah pinjol. "Selama perempuan terus dijadikan objek pasar oleh kapitalisme digital tanpa edukasi yang kuat, potensi jeratan pinjol akan terus meningkat," pungkasnya.

Literasi finansial yang tepat dan kesadaran akan risiko pinjol sangat penting untuk melindungi perempuan dari jeratan utang yang merugikan.