Izin Usaha Pariwisata di Taman Nasional: Bukan Hanya Komodo

Polemik izin usaha pariwisata di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) terus bergulir, memicu pertanyaan publik dan sorotan dari berbagai pihak. Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) menegaskan bahwa praktik pemberian izin serupa tidak terbatas hanya pada TNK, melainkan juga diterapkan di berbagai taman nasional lain di seluruh Indonesia.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Kantor DPRD Manggarai Barat, salah seorang anggota dewan, Silvester Syukur, menyoroti keberadaan sejumlah perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan konservasi TNK. Pertanyaan ini muncul menyusul insiden pelarangan seorang pemandu wisata lokal untuk membawa tamu ke pantai Padar Utara oleh petugas dari PT Palma Hijau Cemerlang (PHC).

Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga, menjelaskan bahwa keberadaan perusahaan dan koperasi di dalam TNK adalah implementasi dari regulasi pemerintah yang mengatur pengusahaan pariwisata alam di kawasan konservasi. Izin yang diberikan terbagi menjadi dua kategori: izin penyediaan jasa wisata alam dan izin penyediaan sarana wisata alam.

  • Izin Penyediaan Jasa Wisata Alam: Izin ini diberikan kepada beberapa koperasi, seperti Komodo Citra Lestari di Loh Buaya, serta koperasi di Padar Selatan dan Loh Liang. Selain itu, izin serupa juga dipegang oleh warga di Kampung Komodo dan Kampung Rinca.
  • Izin Penyediaan Sarana Wisata Alam: Terdapat tiga perusahaan yang memegang izin ini, yaitu PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), PT Segara Komodo Lestari (SKL), dan PT Sinergindo Niagatama. PT KWE memiliki konsesi di Pulau Komodo seluas 151,94 hektar dan Padar Selatan 274,13 hektar, PT Segara Komodo Lestari di Pulau Rinca seluas 22,1 hektar, dan PT Sinergindo Niagatama di Pulau Tatawa seluas 15,32 hektar.

Pemberian izin ini, menurut Hendrikus, didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di kawasan konservasi. Ia menekankan bahwa praktik ini bukan hanya terjadi di TNK, melainkan umum di taman nasional lain di Indonesia.

Namun, Hendrikus mengakui bahwa isu di TNK menjadi sangat sensitif karena kawasan ini memiliki tiga status internasional yang prestisius: Warisan Alam Dunia (World Heritage Site), Cagar Biosfer (Man and Biosphere Reserve), dan masuk dalam daftar New7Wonders of Nature. Status ini menempatkan TNK di bawah pengawasan ketat, termasuk oleh UNESCO, terutama terkait aktivitas pembangunan.

Untuk memenuhi standar UNESCO, setiap aktivitas pembangunan di TNK harus dilengkapi dengan dokumen Kajian Lingkungan Strategis (Strategic Environmental Assessment) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Hendrikus juga menyinggung tentang skema perjanjian kerja sama (PKS) yang dijalankan BTNK dengan pihak ketiga, seperti PT Palma Hijau Cemerlang, untuk kegiatan pengamanan kawasan, monitoring, dan penyediaan sarana wisata seperti mooring buoy. Ia menyayangkan adanya kekeliruan di publik dalam membedakan antara perusahaan yang beroperasi berdasarkan PKS dengan perusahaan yang mengantongi Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA).

“Kadang-kadang di media sosial itu dicampuradukkan,” ujarnya.

Meskipun regulasi memperbolehkan pemberian izin, Hendrikus mengakui adanya keberatan dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan dan pemerhati TNK. Pihaknya telah menerima berbagai masukan dan kekhawatiran atas potensi dampak pembangunan sarana wisata di kawasan konservasi. Ia menyadari bahwa secara moral, publik mungkin memiliki keberatan, namun dari sisi aturan, hal tersebut dimungkinkan.