Revisi UU ITE: MK Batasi Pelapor Pencemaran Nama Baik, Dasco Ingatkan Etika Bermedia
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya mengenai delik pencemaran nama baik. Dalam putusannya, MK membatasi pihak yang dapat melaporkan dugaan pencemaran nama baik, yaitu hanya individu sebagai korban yang dapat mengajukan laporan. Institusi pemerintah, korporasi, organisasi profesi, dan jabatan tidak lagi memiliki hak untuk melaporkan kasus pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa pihaknya menghormati putusan MK tersebut, mengingat sifatnya yang final dan mengikat. Ia menekankan pentingnya menjaga perilaku dan etika, terutama dalam menyampaikan pendapat atau kritik terhadap suatu institusi. Meskipun putusan MK memberikan batasan yang jelas mengenai siapa yang dapat melaporkan pencemaran nama baik, Dasco mengingatkan masyarakat Indonesia untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan tanggung jawab dalam berkomunikasi, khususnya di ruang digital.
Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 ini merupakan respons atas permohonan yang diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, yang merasa bahwa pasal-pasal dalam UU ITE mengenai pencemaran nama baik menimbulkan ketidakpastian hukum. Daniel menggugat Pasal 27A, Pasal 45 ayat (4), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE, dengan harapan MK dapat memberikan interpretasi yang lebih jelas dan membatasi potensi penyalahgunaan pasal-pasal tersebut. MK kemudian mengabulkan sebagian permohonan Daniel, dengan menyatakan bahwa frasa "orang lain" dalam pasal-pasal tersebut harus ditafsirkan secara sempit, yaitu hanya merujuk pada individu.
Berikut adalah bunyi pasal-pasal yang digugat sebelum diubah oleh MK:
- Pasal 27A: Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
- Pasal 28 ayat (2): Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.
- Pasal 45 ayat (4): Setiap Orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 400.000.000.
- Pasal 45A ayat (2): Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas frsik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000.
Dalam pertimbangannya, MK menekankan pentingnya keseimbangan antara perlindungan terhadap hak individu dan jaminan kebebasan berpendapat. MK menyadari bahwa UU ITE seringkali digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik atau pendapat yang berbeda, sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas mengenai siapa yang dapat melaporkan pencemaran nama baik. MK juga menyoroti bahwa Pasal 27A UU ITE memiliki kesamaan substansi dengan Pasal 433 ayat (1) KUHP Tahun 2023, namun UU ITE tidak memberikan penjelasan yang eksplisit mengenai batasan frasa "orang lain", seperti yang terdapat dalam KUHP. Ketidakjelasan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk membatasi interpretasi frasa tersebut hanya pada individu, guna mencegah penyalahgunaan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE.