Polemik QRIS dan GPN: Respons Terhadap Kekhawatiran Amerika Serikat atas Dominasi Transaksi Domestik

Pemerintah Amerika Serikat (AS) baru-baru ini menyoroti implementasi Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) di Indonesia, memicu diskusi tentang potensi pembatasan bagi perusahaan asing. Sorotan ini muncul di tengah negosiasi tarif resiprokal antara kedua negara.

Suryono Hidayat, Wakil Direktur Utama Rintis Sejahtera, menanggapi kekhawatiran AS tersebut dengan menyatakan bahwa kritik tersebut berakar pada kepentingan bisnis perusahaan-perusahaan Amerika seperti Visa dan Mastercard. Ia berpendapat bahwa dengan dominasi transaksi domestik yang signifikan, Indonesia tidak terlalu bergantung pada layanan dari perusahaan-perusahaan tersebut.

"Transaksi domestik kita sangat besar, sekitar 90-95%. Seharusnya kita tidak terlalu membutuhkan Visa atau Mastercard untuk transaksi-transaksi ini," ujar Suryono di Jakarta, menekankan pentingnya QRIS dan GPN untuk mendukung ekosistem pembayaran lokal.

Suryono juga menekankan kebanggaannya terhadap QRIS dan GPN sebagai sistem transaksi unik yang memungkinkan interoperabilitas antarbank. Sistem ini memungkinkan nasabah bank A untuk bertransaksi di bank B dan mentransfer dana ke bank C, sebuah fitur yang menurutnya tidak umum di negara lain.

Lebih lanjut, Suryono menegaskan bahwa kritik AS mencerminkan ancaman terhadap pangsa pasar Visa dan Mastercard akibat popularitas QRIS. Meskipun demikian, ia menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu arahan dari Bank Indonesia (BI) terkait tanggapan terhadap kekhawatiran AS, terutama dalam konteks negosiasi tarif impor 32%.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengindikasikan bahwa pemerintah telah berkoordinasi dengan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membahas masukan dari pihak AS mengenai QRIS dan GPN. Koordinasi ini bertujuan untuk menemukan solusi yang adil dan seimbang dalam kerja sama bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Selain sektor keuangan, AS juga menyoroti aspek lain dari kebijakan ekonomi Indonesia, termasuk perizinan impor melalui sistem Online Single Submission (OSS), insentif perpajakan dan kepabeanan, serta kuota impor. Pemerintah Indonesia berupaya untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dalam hubungan perdagangan dengan AS.

Berikut poin-poin yang menjadi perhatian:

  • Kekhawatiran AS: Pembatasan potensi bagi perusahaan asing akibat QRIS dan GPN.
  • Respons Indonesia: Penekanan pada dominasi transaksi domestik dan keunikan sistem pembayaran lokal.
  • Koordinasi Pemerintah: Upaya untuk mencapai solusi yang adil dan seimbang dalam kerja sama bilateral.
  • Aspek Lain: Sorotan AS terhadap perizinan impor, insentif, dan kuota impor.