Evaluasi Program Food Estate: Analisis Kegagalan Masa Lalu dan Strategi Pengembangan ke Depan
Evaluasi Program Food Estate: Analisis Kegagalan Masa Lalu dan Strategi Pengembangan ke Depan
Program Food Estate, sebuah inisiatif strategis untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, telah mengalami berbagai tantangan dan kegagalan selama lebih dari dua dekade. Menurut Guru Besar IPB University, Dwi Andreas Santosa, serangkaian proyek Food Estate yang ambisius, seperti Proyek Lahan Gambut (PLG) dan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), belum mencapai hasil yang diharapkan.
Akar Permasalahan Food Estate
Beberapa faktor kunci telah diidentifikasi sebagai penyebab kegagalan program Food Estate di masa lalu. Pertama, ketergantungan impor beras yang tinggi, mencapai 2 juta ton per tahun setelah Indonesia tidak lagi swasembada beras pada tahun 1993, menunjukkan adanya kerentanan dalam sistem produksi pangan nasional. Kedua, alih fungsi lahan pertanian ke sektor non-pertanian, yang mencapai angka signifikan 1 juta hektare, mengurangi kapasitas produksi pangan secara keseluruhan. Ketiga, ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi empat pilar penting pengembangan lahan pangan, yaitu kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan teknologi, kelayakan infrastruktur, serta kelayakan sosial dan ekonomi, menjadi hambatan serius dalam mencapai tujuan Food Estate.
Strategi Pengembangan Food Estate yang Berkelanjutan
Untuk mengatasi tantangan ini, Andreas mengusulkan beberapa langkah strategis. Pertama, perluasan lahan pertanian harus difokuskan pada lahan-lahan kecil yang belum termanfaatkan, mengingat tingginya tingkat konversi lahan pertanian ke sektor lain. Kedua, penetapan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) khusus untuk pengembangan Food Estate akan memberikan kerangka kerja yang jelas dan terarah. Selain itu, wilayah-wilayah kecil di bekas PLG yang memenuhi kriteria empat pilar pengembangan lahan pertanian skala luas harus dikembangkan menjadi pusat pengembangan pertanian di sekitarnya.
Potensi dan Peluang Food Estate
Namun demikian, Indonesia memiliki potensi besar untuk mewujudkan Food Estate yang sukses. Guru Besar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Munif Ghulamahdi, menyoroti ketersediaan lahan pasang surut yang luas, mencapai 20,1 juta hektare, dengan 9 juta hektare di antaranya cocok untuk kegiatan pertanian. Kolaborasi antara akademisi, bisnis, pemerintah, dan masyarakat (ABGC) telah menunjukkan hasil positif, seperti pengembangan lahan jagung seluas 50 hektare pada tahun 2023 dan 2024, dengan proyeksi mencapai 500 hektare pada tahun 2025. Pemanfaatan lahan pasang surut dengan penerapan budidaya jenuh air (BJA) yang terintegrasi juga menawarkan peluang besar untuk keberhasilan Food Estate di masa depan.
Pendekatan Holistik untuk Keberhasilan Food Estate
Dekan Fakultas Pertanian IPB University, Suryo, menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam pelaksanaan Food Estate. Faktor-faktor seperti kesehatan tanah (soil health), teknologi, dan sumber daya manusia harus diperhatikan secara komprehensif. Food Estate merupakan program besar yang memerlukan koordinasi dan integrasi yang kuat antara berbagai pihak.
- Evaluasi menyeluruh terhadap kegagalan program Food Estate sebelumnya
- Identifikasi faktor-faktor kunci penyebab kegagalan, seperti ketergantungan impor, alih fungsi lahan, dan ketidakcukupan infrastruktur
- Pengusulan strategi pengembangan yang berkelanjutan, termasuk pemanfaatan lahan-lahan kecil dan penetapan GBHN khusus
- Penekanan pada potensi dan peluang, seperti lahan pasang surut dan kolaborasi ABGC
- Pentingnya pendekatan holistik yang melibatkan berbagai faktor, seperti kesehatan tanah, teknologi, dan sumber daya manusia