PSU: Jebakan Demokrasi Prosedural dan Degradasi Moral Pemilu Lokal
Musim pancaroba demokrasi lokal diwarnai dengan penyelenggaraan Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang seharusnya menjadi solusi atas sengketa Pilkada. Namun, PSU justru menjadi arena baru bagi praktik-praktik yang mencederai nilai-nilai demokrasi.
Kasus di Kabupaten Serang menjadi contoh nyata. Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya memerintahkan PSU akibat terbukti adanya politik uang. Ironisnya, PSU justru diwarnai kembali dengan praktik serupa. Bawaslu bahkan menemukan indikasi politik uang menjelang dan saat PSU berlangsung, dengan bukti uang tunai dan pemeriksaan terhadap sejumlah orang. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apa gunanya pengulangan demokrasi jika praktik-praktik kotor tetap berulang?
Masalah ini bukan hanya soal etika, tetapi juga akal sehat. Anggaran yang telah dikeluarkan untuk Pilkada sebelumnya sudah sangat besar. PSU justru menambah beban anggaran yang signifikan. Semua ini terasa sia-sia jika elite politik terus menggunakan cara-cara yang tidak jujur dan hukum gagal memberikan efek jera. Akibatnya, rakyat menjadi korban. Mereka dipaksa untuk memilih ulang dengan pilihan yang sama dan catatan pelanggaran yang tidak berubah.
Kita terjebak dalam kebuntuan demokrasi. PSU seharusnya menjadi koreksi atas pelanggaran, tetapi jika pelanggaran justru terjadi lagi dalam proses koreksi itu sendiri, maka keadilan sulit ditegakkan. MK membuka peluang PSU dapat diulang kembali jika pelanggaran serupa kembali terbukti. Aturan mengenai pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang memengaruhi hasil pemilu membuka ruang untuk gugatan baru. Situasi ini mengarah pada pengulangan pemilu dari pemilu, sebuah kondisi yang absurd.
Lebih jauh, muncul pertanyaan tentang apa yang terjadi jika pasangan calon yang menggugat juga terbukti melakukan pelanggaran yang sama. Apakah kedua pasangan calon akan didiskualifikasi? Siapa yang akan menggantikan mereka? Atau kita akan menyaksikan PSU tanpa adanya pilihan? Inilah jebakan demokrasi prosedural, di mana formalitas pemilu tetap berjalan, tetapi substansi etika dan akuntabilitas hilang.
Kompetisi yang adil hanya dapat terwujud jika dilakukan dengan cara yang jujur dan setara. Namun, praktik yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa suara rakyat dapat dibeli dengan uang tunai, sembako, bahkan fasilitas ibadah. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga pembusukan moral yang menggerogoti fondasi demokrasi.
PSU bukanlah solusi utama jika aktor-aktor politik yang bertanding terus menggunakan cara-cara kotor. Dalam banyak kasus, PSU hanya menampilkan wajah lama dengan pola lama. Oleh karena itu, PSU hanya menjadi panggung pengulangan, bukan perbaikan. Aktor politik harus menyadari bahwa pemilih semakin cerdas dan dapat membedakan antara koreksi dan kamuflase. Jika masyarakat terus disuguhi pilihan yang tidak etis, mereka dapat menjadi apatis. Mereka mungkin tetap datang ke TPS karena tekanan sosial, bukan karena keyakinan politik. Demokrasi kehilangan maknanya ketika partisipasi hanya menjadi angka, bukan sikap.
Secara sederhana, pemilu kehilangan maknanya jika pemimpin terpilih tidak bertanggung jawab kepada rakyat, melainkan hanya mengandalkan legitimasi hasil pemilihan semata. Bahkan, hasil pemilu dapat menjadi tidak sah karena dibangun di atas kecurangan.
Langkah-langkah yang perlu diambil:
- Ketegasan MK: Mahkamah Konstitusi harus berani mengambil langkah tegas dengan mendiskualifikasi seluruh pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang, termasuk dalam PSU. Tindakan ini bukan ekstrem, tetapi merupakan bagian dari penegakan demokrasi yang beradab. Jika semua calon mencurangi pemilih, apa bedanya demokrasi dengan pasar gelap?
- Penguatan Pengawasan Lokal: Pengawasan di tingkat lokal harus diperkuat. Jangan hanya mengandalkan Bawaslu dan KPU yang sering kali baru bertindak ketika masalah sudah membesar. Masyarakat sipil, media lokal, dan organisasi pemantau independen harus dilibatkan secara aktif. Di era keterbukaan informasi, tidak ada alasan untuk tidak transparan.
- Pendidikan Politik Berkelanjutan: Pendidikan politik tidak bisa lagi bersifat musiman. Ia harus berlangsung terus-menerus, bukan hanya muncul menjelang pemilu. Rakyat perlu disadarkan bahwa suara mereka bukan sekadar rutinitas lima tahunan, tetapi mandat penting yang menentukan arah pemerintahan. Jika mandat itu dapat dibeli, maka demokrasi cacat sejak awal.
- Perubahan Paradigma Elite Politik: Elite politik harus berhenti memandang kemenangan sebagai hasil dari strategi yang curang. Kemenangan melalui pelanggaran hanya akan melahirkan pemerintahan yang lemah, penuh utang moral, dan minim legitimasi. Kepercayaan publik tidak dapat dibeli di pasar, tetapi dibangun dari komitmen pada etika publik.
- Evaluasi Efektivitas PSU: Mahkamah Konstitusi juga harus mengevaluasi efektivitas PSU sebagai satu-satunya bentuk koreksi. Jika proses pemilu dan PSU sama-sama dapat dibajak, mungkin yang dibutuhkan bukan pengulangan, tetapi pembaruan yang lebih menyeluruh, mulai dari sistem pencalonan, pendanaan kampanye, hingga penegakan hukum pemilu.
Demokrasi tidak akan pulih hanya dengan pengulangan. Ia hanya dapat diselamatkan jika kita berani memperbaiki akarnya. Koreksi sejati tidak cukup dengan prosedur, melainkan harus dimulai dari pemahaman utuh akan nilai dan integritas.