TPST Depo Sari Sedana Kewalahan Tangani Tumpukan Sampah, SE Gubernur Bali Dipertanyakan Efektivitasnya

Di tengah upaya Pemerintah Provinsi Bali mewujudkan program Bali Bersih Sampah, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Depo Sari Sedana di Denpasar justru menghadapi tantangan serius dengan terus meningkatnya volume sampah yang masuk.

Pada Rabu (30/4/2025), aktivitas di TPST Depo Sari Sedana terlihat ramai oleh warga yang membuang sampah. Pengendara sepeda motor silih berganti datang membawa kantong-kantong plastik berisi sampah. Tumpukan sampah di lokasi tersebut semakin menggunung, terdiri dari berbagai jenis sampah seperti plastik, limbah rumah tangga, dan terutama sampah organik sisa upacara keagamaan.

Sebelumnya, TPST yang berlokasi di Jalan Gunung Agung menjadi tempat pembuangan sampah bagi warga sekitar. Namun, lokasi tersebut kini telah ditutup dan dialihfungsikan menjadi puskesmas menyusul protes warga terkait bau busuk yang mengganggu. Febrianti, seorang pelajar di Denpasar, mengaku rutin membuang sampah rumah tangga ke TPST agar tidak menumpuk dan menimbulkan bau tidak sedap di rumahnya.

Persoalan sampah yang tak terkendali bukan hanya terjadi di Denpasar, tetapi juga meluas di seluruh Bali. Kondisi ini menjadi perhatian serius, mengingat Bali merupakan destinasi wisata utama yang mengandalkan keindahan alam dan kebersihan lingkungan. Pemerintah Provinsi Bali telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Gubernur Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. SE ini mengatur tentang pengelolaan sampah berbasis sumber dan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai. Pembatasan penggunaan plastik seharusnya sudah berlaku sejak SE diterbitkan, sementara pengelolaan sampah berbasis sumber ditargetkan mulai diterapkan pada awal tahun 2026.

Penerbitan SE tersebut dilatarbelakangi oleh pertimbangan Bali sebagai destinasi pariwisata dunia yang harus memberikan kenyamanan bagi wisatawan dengan mewujudkan pariwisata berbasis budaya, berkualitas, dan bermartabat. Selain itu, pengelolaan sampah yang belum optimal di Bali dinilai berdampak negatif terhadap ekosistem alam, manusia, dan kebudayaan Bali. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan sampah berbasis sumber dan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai dianggap mendesak untuk diberlakukan.

Peraturan ini berlaku di berbagai sektor, termasuk kantor lembaga pemerintah dan swasta, desa/kelurahan dan desa adat, pelaku usaha (hotel dan restoran), lembaga pendidikan, tempat ibadah, dan pasar. Implementasi aturan ini ditargetkan paling lambat 1 Januari 2026. Sanksi bagi pelanggar mulai dari pemberhentian insentif hingga pencabutan izin.

Namun, efektivitas SE Gubernur ini dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Luh Putu Kusuma Ririen dari Yayasan Rumah Berdaya Saraswati (YRBS) menilai bahwa masih banyak institusi pendidikan, lembaga pemerintah, kelompok masyarakat, dan pelaku usaha kecil yang belum memiliki kapasitas teknis untuk memilah, mengolah, dan mengelola sampah secara mandiri. Tanpa pelatihan, pendampingan, dan penguatan kapasitas yang terstruktur, SE ini berisiko hanya menjadi imbauan administratif tanpa dampak nyata di lapangan.

YRBS sendiri menjalankan program pengelolaan sampah berkelanjutan melalui Teba Modern, termasuk pemberdayaan masyarakat melalui fasilitas pengelolaan sampah berbasis black soldier fly (BSF). Ririen juga menyoroti bahwa SE tersebut belum menekankan pentingnya reformasi struktural, seperti perbaikan sistem pengangkutan dan pengolahan sampah, serta belum membuka ruang bagi inovasi lokal dalam pengelolaan sampah ramah lingkungan berbasis komunitas.

Ia mengakui bahwa krisis sampah di Bali tidak bisa dipisahkan dari peran sektor industri dan pariwisata. Kota Denpasar saja menghasilkan sekitar 1.000 ton sampah per hari. Oleh karena itu, diperlukan solusi komprehensif yang melibatkan semua pihak untuk mengatasi persoalan sampah di Bali secara berkelanjutan.