Lonjakan Harga Kelapa Picu Kekhawatiran Industri Pengolahan Dalam Negeri
Kenaikan Harga Kelapa Ancam Industri Pengolahan Kelapa Nasional
Kenaikan harga kelapa yang signifikan di pasar domestik telah memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri pengolahan kelapa. Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyoroti bahwa tingginya ekspor kelapa bulat menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kelangkaan pasokan di dalam negeri, sehingga berdampak pada kenaikan harga.
Menperin menjelaskan bahwa saat ini, ekspor kelapa bulat dari Indonesia belum dikenakan pajak, sementara industri dalam negeri justru dibebankan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 saat membeli kelapa dari petani. Ketidaksetaraan ini menciptakan playing field yang tidak adil antara eksportir dan industri pengolahan kelapa dalam negeri. Kebutuhan kelapa untuk konsumsi rumah tangga dan Industri Kecil Menengah (IKM) mencapai sekitar 2 miliar butir per tahun.
Indonesia, sebagai salah satu produsen kelapa terbesar di dunia, belum memiliki kebijakan tata niaga yang komprehensif untuk mengendalikan ekspor kelapa. Negara-negara produsen kelapa lainnya, seperti Filipina, India, Thailand, dan Sri Lanka, telah menerapkan larangan ekspor atau pungutan ekspor untuk melindungi industri pengolahan kelapa dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan nilai tambah ekonomi kelapa.
Menperin Agus baru-baru ini menerima audiensi dari Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) untuk membahas masalah kelangkaan bahan baku yang dihadapi industri. HIPKI menyampaikan aspirasi bahwa industri pengolahan kelapa memiliki kepentingan yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan petani kelapa dan menjaga keberlanjutan industri berbasis kelapa.
Ekspor kelapa bulat secara besar-besaran dikhawatirkan akan menggeser pasar produk hilir kelapa Indonesia di pasar global. Produk-produk seperti minyak kelapa, desiccated coconut, nata de coco, konsentrat air kelapa, arang aktif, dan briket, yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia, berpotensi digantikan oleh produk dari negara lain yang bahan bakunya justru berasal dari Indonesia.
Pada tahun 2024, nilai ekspor produk kelapa Indonesia mencapai 2 miliar dollar AS, dengan 85 persennya merupakan produk olahan. Jika kelangkaan bahan baku terus berlanjut, Indonesia berpotensi kehilangan devisa ekspor dan sekitar 21.000 pekerja di industri pengolahan kelapa terancam kehilangan pekerjaan.
Program hilirisasi kelapa yang telah dicanangkan sebelumnya telah berhasil menarik investasi dari berbagai negara. Namun, perusahaan-perusahaan tersebut saat ini kesulitan beroperasi akibat kelangkaan bahan baku.
Menperin Agus menegaskan bahwa pemerintah terus berkoordinasi dengan pelaku usaha dan asosiasi kelapa untuk mencari solusi supply demand kelapa yang adil, dengan tetap mengutamakan kesejahteraan petani.
Dampak di Tingkat Konsumen dan Pedagang
Kenaikan harga kelapa juga dirasakan oleh konsumen dan pedagang di pasar tradisional. Harga kelapa telah melonjak drastis dalam beberapa pekan terakhir, bahkan ada yang mencapai dua kali lipat.
Agus, seorang pedagang kelapa di Pasar Paseban, Senen, Jakarta Pusat, mengungkapkan bahwa harga kelapa saat ini mencapai Rp 25.000 per butir, padahal sebelumnya hanya Rp 10.000-an. Kenaikan ini berdampak pada penurunan penjualan.
Kenaikan harga juga terjadi di Pasar Tambun, Bekasi. Juari, seorang distributor kelapa parut, mengatakan bahwa harga kelapa ukuran kecil dijual Rp 15.000, sedangkan ukuran besar bisa mencapai Rp 18.000 per butir.
Juari menduga kenaikan harga ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan ekspor kelapa parut ke Thailand, sehingga petani menerapkan harga jual yang sama untuk pasar ekspor dan dalam negeri.
Para pedagang dan konsumen berharap pemerintah segera mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah kenaikan harga kelapa dan menjamin ketersediaan pasokan di pasar domestik.