Pelanggaran Gencatan Senjata: Junta Myanmar Terus Gempur Wilayah Pemberontak Pasca-Gempa

Myanmar kembali diwarnai konflik bersenjata setelah junta militer yang berkuasa dituduh melanggar perjanjian gencatan senjata yang seharusnya berlaku pasca-gempa bumi dahsyat yang melanda negara tersebut pada akhir Maret. Meskipun telah berjanji untuk menghentikan operasi militer setelah gempa berkekuatan magnitudo 7,7 yang menewaskan ribuan orang, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda.

Sejak pertengahan April, pasukan militer Myanmar dilaporkan secara intensif melancarkan serangan di wilayah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak di Negara Bagian Karenni. Serangan-serangan ini, yang mencakup penggunaan roket dan mortir, telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa baik dari kalangan sipil maupun milisi perlawanan. Salah satu contoh tragis adalah kematian seorang warga sipil bernama Khala, yang tewas akibat serangan udara di area yang seharusnya aman.

Kisah Khala dan istrinya, Mala, menggambarkan dampak mengerikan dari konflik ini terhadap kehidupan warga sipil. Setelah bertahun-tahun mengungsi akibat pertempuran, mereka memutuskan untuk kembali ke desa mereka setelah pengumuman gencatan senjata. Namun, harapan mereka untuk memulai kembali hidup hancur ketika serangan udara menghantam desa mereka, merenggut nyawa Khala dan meninggalkan Mala dalam keadaan hamil dan berduka.

Selain serangan udara, militer Myanmar juga dituduh melakukan serangan besar-besaran ke wilayah pemberontak dengan menggunakan senjata berat dan mengerahkan pasukan infanteri. Serangan-serangan ini telah menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur dan lahan pertanian, serta memaksa ribuan orang untuk mengungsi.

Meskipun Dewan Administrasi Negara, badan yang memegang kekuasaan di Myanmar, belum memberikan komentar terkait tuduhan pelanggaran gencatan senjata ini, mereka mengklaim bahwa mereka telah diserang oleh kelompok-kelompok perlawanan. Namun, kelompok-kelompok perlawanan membantah klaim tersebut dan menyatakan bahwa mereka hanya akan membalas jika diserang terlebih dahulu.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengecam keras pelanggaran gencatan senjata oleh militer Myanmar dan menyerukan agar semua pihak yang berkonflik untuk menghentikan kekerasan dan mencari solusi damai. PBB juga mengingatkan bahwa gempa bumi telah memperburuk situasi kemanusiaan di Myanmar, dengan jutaan orang membutuhkan bantuan.

Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, banyak warga Myanmar merasa tidak percaya pada janji-janji junta militer dan bertekad untuk terus berjuang melawan rezim tersebut. Mereka percaya bahwa hanya dengan perjuangan yang berkelanjutan, mereka dapat mencapai perdamaian dan keadilan di negara mereka.

Berikut adalah beberapa insiden yang dilaporkan:

  • Serangan roket dan mortir yang menewaskan dan melukai warga sipil dan milisi perlawanan di Negara Bagian Karenni.
  • Serangan udara yang menewaskan seorang warga sipil bernama Khala di desa Pekin Coco.
  • Serangan besar-besaran ke wilayah pemberontak dengan menggunakan senjata berat dan mengerahkan pasukan infanteri.
  • Serangan terhadap lahan pertanian yang menewaskan seorang perempuan berusia 60 tahun.

Kondisi ini diperparah dengan adanya gempa yang mengakibatkan banyaknya korban luka-luka dan kerusakan infrastruktur. Rumah sakit yang berlokasi di daerah terpencil dan tersembunyi di dalam hutan menjadi tumpuan harapan bagi para korban luka, namun sumber daya yang terbatas menjadi tantangan tersendiri.

Masyarakat internasional terus menyerukan diakhirinya kekerasan dan dimulainya dialog untuk mencari solusi damai bagi konflik yang telah berlangsung lama ini. Namun, dengan tidak adanya tanda-tanda perubahan sikap dari pihak junta militer, masa depan Myanmar tetap suram.