Rencana Pembinaan Siswa di Barak Militer Tuai Kritik: Pendekatan Psikologis Lebih Dibutuhkan

Gagasan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk menempatkan siswa yang bermasalah di barak militer menuai kritik dari pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Fahmi menilai langkah tersebut berpotensi menimbulkan dampak psikologis yang kurang baik bagi para siswa.

Fahmi berpendapat bahwa solusi yang tepat bagi siswa bermasalah bukanlah indoktrinasi ala militer, melainkan pendekatan personal yang mempertimbangkan akar permasalahan masing-masing individu, serta pendampingan yang berkelanjutan. "Siswa membutuhkan lingkungan belajar yang suportif dan rehabilitatif, bukan barak militer. Jika masalahnya terletak pada perilaku, maka solusinya harus bersifat pedagogis dan reflektif, bukan dengan paksaan," tegasnya.

Menurutnya, kenakalan remaja seperti tawuran, kecanduan game, pembangkangan, hingga penyalahgunaan alkohol, merupakan manifestasi dari masalah sosial yang kompleks dan membutuhkan penanganan sipil yang humanis, bukan melalui pendekatan militeristik yang represif. "Kenakalan remaja bukanlah ancaman keamanan negara, melainkan cerminan dari masalah psikososial yang membutuhkan respons berbasis pendampingan, bukan penertiban," imbuhnya.

Meski demikian, Fahmi mengakui pentingnya penanaman disiplin dalam pembentukan karakter generasi muda. Namun, ia menekankan bahwa disiplin sejati tumbuh dari kesadaran diri, bukan dari rasa takut akibat indoktrinasi militer. Ia mengkhawatirkan pendekatan militeristik justru akan kontraproduktif dan menimbulkan trauma pada siswa.

Sebelumnya, Dedi Mulyadi berencana menggandeng TNI dan Polri dalam program pendidikan karakter di Jawa Barat. Program ini menyasar siswa yang dianggap bermasalah dan berpotensi terlibat dalam perilaku negatif. Dedi berencana menyiapkan 30-40 barak militer sebagai tempat pembinaan selama enam bulan. Selain itu, ia juga berencana menerapkan kurikulum wajib militer di SMA/SMK dengan melibatkan anggota TNI dan Polri sebagai pembina di sekolah.

Program tersebut bertujuan untuk membentuk karakter bela negara, menggali potensi siswa, dan mencegah tawuran serta kenakalan remaja lainnya. Namun, rencana ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat dan pengamat pendidikan.