Menanti Realisasi Negara Kesejahteraan: Perlindungan Buruh Formal dan Informal
Asa Negara Kesejahteraan bagi Buruh: Perlindungan yang Merata
Di tengah kompleksitas persoalan ketenagakerjaan, cita-cita negara kesejahteraan (welfare state) menjadi harapan yang terus digaungkan, khususnya bagi kelompok buruh yang kerap kali rentan dan memiliki keterbatasan akses terhadap jaminan kesejahteraan yang layak. Pembahasan mengenai hal ini menjadi krusial, mengingat realisasinya yang seolah masih jauh dari jangkauan.
Diskursus mengenai buruh tidak hanya terbatas pada pekerja formal di pabrik dengan jadwal dan lokasi kerja yang tetap. Lebih dari itu, buruh mencakup jutaan pekerja informal yang berjuang setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarga, tanpa jaminan kepastian. Mereka adalah para tukang parkir, pemulung, pengemudi ojek pangkalan dan daring, pekerja cuci, pedagang kaki lima, serta pekerja rumahan yang mencari nafkah dengan cara apapun yang memungkinkan. Penghidupan keluarga mereka sepenuhnya bergantung pada hasil kerja harian, yang seringkali tidak menentu. Ketika sakit, mereka tidak memiliki upah pengganti. Di usia senja, tidak ada pensiun yang menanti. Bahkan, ketika meninggal dunia, keluarga mereka harus menanggung beban utang untuk biaya pemakaman.
Lebih dari sekadar simpati, para buruh informal membutuhkan pengakuan dan sistem yang adil. Mereka tidak mengharapkan belas kasihan atau bantuan cuma-cuma dari negara. Mereka adalah pekerja keras yang berjuang mencari nafkah di tengah ketidakpastian. Ironisnya, mayoritas dari mereka tidak ter-cover dalam perlindungan asuransi ketenagakerjaan. Akibatnya, ketika sakit dan membutuhkan pengobatan, mereka seringkali enggan memanfaatkan fasilitas kesehatan pemerintah karena terkendala biaya administrasi dan birokrasi yang rumit. Sebagai gantinya, mereka mencari bantuan melalui masjid, gereja, vihara, atau yayasan sosial lokal, berharap mendapatkan infak, zakat, atau derma untuk membeli obat.
Demikian pula, ketika anak-anak mereka kesulitan membayar biaya sekolah, mereka mengandalkan gotong royong komunitas, seperti bantuan dari tokoh agama, ketua RT, atau tokoh masyarakat setempat. Bahkan, dalam situasi duka, biaya pemakaman seringkali ditanggung oleh kas masjid atau dana derma gereja. Realita ini memunculkan pertanyaan mendalam mengenai peran negara dalam memberikan jaminan sosial bagi warganya.
Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa pekerja formal pun belum sepenuhnya merasakan kesejahteraan. Banyak dari mereka terjebak dalam kontrak kerja jangka pendek, sistem outsourcing, dan relasi kerja yang timpang. Oleh karena itu, kehadiran negara kesejahteraan yang mampu menjamin upah layak, menjaga martabat sosial, dan menyangga ekonomi rakyat menjadi sangat krusial.
Negara kesejahteraan seharusnya menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai hak, bukan bonus. Akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan jaminan sosial seharusnya tidak ditentukan oleh status pekerjaan, pendapatan, atau domisili, melainkan oleh status kewarganegaraan itu sendiri. Negara memiliki peran aktif dalam melindungi warganya dari pengangguran, sakit, usia senja, dan kemiskinan, salah satunya melalui instrumen pajak. Pajak progresif, misalnya, merupakan salah satu wujud nyata dari gagasan negara kesejahteraan.
Bagi buruh, bentuk paling nyata dari negara kesejahteraan adalah perlindungan sistem sosial yang mencakup cuti sakit, cuti hamil, pesangon, serta tunjangan pendidikan anak. Ini bukan sekadar bonus dari status pekerjaan, melainkan hak yang melekat sebagai warga negara. Perlindungan sosial ini akan memperkuat posisi buruh dalam menghadapi oligarki dan memungkinkan mereka untuk mengembangkan keahlian jangka panjang, tanpa harus terus bergantung pada pekerjaan saat ini.
Realisasi negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan keputusan politik yang diambil oleh negara. Sistem perundang-undangan ketenagakerjaan harus lebih berpihak pada perlindungan buruh daripada sekadar mengikuti fleksibilitas pasar. Selain itu, perlindungan legislasi bagi buruh di daerah agar diperlakukan setara dengan buruh di kota besar menjadi sangat penting dan strategis.
Gagasan negara kesejahteraan akan tetap menjadi utopia selama buruh hanya dipandang sebagai objek dalam janji kampanye dan sekadar menjadi bahan baku statistik. Negara kesejahteraan tidak mungkin terwujud jika negara hanya berorientasi pada investasi tanpa memperhatikan martabat warganya. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen dan tindakan nyata dari pemerintah untuk mewujudkan negara kesejahteraan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:
- Negara kesejahteraan harus menjamin perlindungan sosial bagi seluruh warga negara, tanpa memandang status pekerjaan atau domisili.
- Perlindungan sosial ini mencakup akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan jaminan sosial.
- Negara memiliki peran aktif dalam melindungi warganya dari pengangguran, sakit, usia senja, dan kemiskinan.
- Sistem perundang-undangan ketenagakerjaan harus lebih berpihak pada perlindungan buruh.
- Perlindungan legislasi bagi buruh di daerah harus setara dengan buruh di kota besar.