Tragedi Berdarah di Rumah Dinas Bupati Bone: Dendam dan Maut di Subuh Kelabu
Di sebuah subuh yang sunyi, tepatnya pada tanggal 22 Februari 1982, kediaman resmi Bupati Bone yang terletak di Jalan Petta Ponggawae, Watampone, Sulawesi Selatan, menjadi saksi bisu sebuah peristiwa tragis yang mengguncang daerah tersebut. Kegelapan pagi itu dipecah oleh gerakan mencurigakan seorang pria yang menyelinap masuk ke dalam rumah dinas, yang dulunya merupakan istana Raja Bone. Sosok misterius itu, dengan wajah tertutup kain sarung, bergerak lincah menghindari sorotan lampu, bersembunyi di balik pepohonan dan bangunan, seolah memastikan bahwa aksinya tidak terlihat oleh siapa pun.
Dengan menggunakan sepotong besi bekas per mobil, pria itu berhasil mencongkel jendela kamar tidur Bupati Panangian Basri Harahap, seorang tokoh yang menjabat sejak tahun 1977 dan juga seorang anggota militer aktif. Pintu kamar didobrak paksa, membangunkan sang bupati dari tidurnya. Tanpa ampun, pelaku langsung menyerang Panangian dengan besi yang dibawanya, menghantam tubuh dan kepala korban hingga terkapar bersimbah darah. Istri bupati, Sitti Haniah, yang terbangun karena keributan, juga menjadi korban keganasan pelaku.
Suara gaduh dari dalam kamar membangunkan seorang ajudan bupati bernama Nasir. Saat melakukan pengecekan, Nasir berpapasan dengan pelaku yang melarikan diri melalui jendela. Perkelahian sengit tak terhindarkan, memancing perhatian seorang Pamong Praja bernama Abdul Hafid untuk membantu. Namun, Abdul Hafid pun menjadi korban dan tergeletak bersimbah darah. Nasir, yang khawatir akan keselamatan atasannya, menemukan Panangian dan Sitti Haniah dalam kondisi mengenaskan. Ia segera meminta bantuan dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian.
Polisi yang tiba di lokasi segera melakukan evakuasi terhadap para korban ke rumah sakit Watampone. Namun, nyawa Panangian Basri Harahap tidak dapat diselamatkan. Sitti Haniah menyusul kepergian suaminya beberapa jam kemudian di rumah sakit Ujung Pandang. Penyelidikan polisi mengarah pada seorang penjaga kebun cengkeh milik bupati bernama La Kaseng. Kecurigaan ini diperkuat oleh kesaksian Nasir dan seorang anak kecil bernama Anto yang melihat seorang pria melompati tembok belakang rumah dinas.
Terungkap kemudian bahwa malam sebelum kejadian di rumah dinas bupati, La Kaseng juga terlibat dalam penyerangan terhadap empat karyawan perusahaan angkutan Cahaya Ujung. Tiga di antaranya meregang nyawa, menambah daftar panjang korban dalam tragedi berdarah ini. Motif di balik aksi keji La Kaseng menjadi pertanyaan besar di masyarakat. Spekulasi pun bermunculan, mulai dari intrik politik hingga dendam pribadi.
Setelah menjadi buronan selama beberapa pekan, La Kaseng akhirnya berhasil ditangkap oleh tim gabungan TNI-Polri. Dalam persidangan, terungkap bahwa La Kaseng nekat melakukan pembunuhan karena dendam. Ia menuduh Panangian Basri Harahap telah melecehkan putrinya dan berencana mengambil alih kebun cengkeh miliknya. Jaksa meyakini bahwa pembunuhan ini telah direncanakan dengan matang. La Kaseng bahkan menyuruh istrinya untuk berbohong tentang keberadaannya jika ditanya oleh bupati.
Atas perbuatannya, La Kaseng dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Watampone. Vonis ini disambut dengan pasrah oleh La Kaseng. Meskipun didampingi oleh tim pengacara dari Asosiasi Bantuan Hukum Ujungpandang, ia menyerahkan sepenuhnya nasibnya kepada pembela. Beberapa tahun kemudian, sebelum sempat dieksekusi, La Kaseng dikabarkan meninggal dunia di dalam penjara, mengakhiri babak kelam dalam sejarah Kabupaten Bone.