ITUC Mendorong Keterlibatan Serikat Buruh dalam Pembentukan UU Ketenagakerjaan yang Baru
ITUC Mendorong Keterlibatan Serikat Buruh dalam Pembentukan UU Ketenagakerjaan yang Baru
Jakarta - Sekretaris Jenderal International Trade Union Confederation (ITUC), Shoya Yoshida, menyerukan agar serikat buruh di Indonesia berperan aktif dalam proses penyusunan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru. Desakan ini disampaikan mengingat pentingnya representasi suara pekerja dalam regulasi yang akan berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Shoya Yoshida menekankan perlunya kolaborasi antara serikat buruh, pemerintah, dan pengusaha dalam merumuskan UU Ketenagakerjaan yang lebih representatif dan inklusif. Menurutnya, momentum pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) harus dimanfaatkan secara optimal untuk menciptakan kebijakan yang berkeadilan sosial.
"Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), sangat penting bagi kita semua kaum buruh di Indonesia untuk bekerja sama dengan pemerintah dan pengusaha dalam menyusun UU Ketenagakerjaan yang baru," ujar Shoya saat berpidato dalam perayaan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 di Lapangan Monas, Jakarta.
Menurutnya, keterlibatan aktif serikat buruh merupakan kunci untuk memastikan bahwa UU Ketenagakerjaan yang baru benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi pekerja. Dia juga menekankan pentingnya perlindungan hak-hak dasar buruh dalam regulasi tersebut.
Serikat Buruh Dunia berkomitmen untuk memberikan dukungan penuh kepada perjuangan buruh di Indonesia dalam mewujudkan UU Ketenagakerjaan yang lebih baik. Shoya berharap serikat buruh dapat memanfaatkan momentum putusan MK, yang membatalkan klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja, untuk merumuskan kebijakan yang adil, inklusif, dan melindungi hak-hak dasar buruh di Indonesia.
MK sebelumnya telah meminta DPR dan pemerintah untuk menyusun UU Ketenagakerjaan baru dalam waktu maksimal dua tahun. Perintah ini dikeluarkan sebagai respons terhadap uji materi UU Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh dan pihak-pihak terkait. Putusan MK tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang kemudian diubah melalui UU Cipta Kerja, mengandung sejumlah pasal yang bertentangan dengan UUD 1945.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa UU Ketenagakerjaan yang baru harus menampung substansi dari UU Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Nomor 6 Tahun 2023, serta mengakomodasi putusan-putusan MK terkait isu ketenagakerjaan. Selain itu, proses penyusunan UU Ketenagakerjaan yang baru harus melibatkan partisipasi aktif dari serikat pekerja/serikat buruh.
"Waktu paling lama dua tahun dinilai oleh Mahkamah cukup bagi pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi UU Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Nomor 6 Tahun 2023," kata Enny dalam sidang MK di Gedung MK.
Perintah pembentukan undang-undang ini didasari fakta bahwa materi atau substansi UU Ketenagakerjaan telah berulang kali diajukan pengujian konstitusionalitasnya ke MK. Data pengujian UU di MK menunjukkan bahwa sebagian materi atau substansi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 telah 37 kali diuji konstitusionalitasnya. Dari jumlah tersebut, 12 permohonan dikabulkan, baik seluruhnya maupun sebagian.
Enny menjelaskan bahwa sebelum sebagian materi atau substansi UU Nomor 13 Tahun 2003 diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023, sejumlah materi atau substansi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 telah dinyatakan oleh Mahkamah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik untuk seluruh norma yang diuji maupun yang dinyatakan inkonstitusional atau konstitusional secara bersyarat.
Oleh karena itu, UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak lagi utuh. Selain itu, sebagian materi atau substansi UU Nomor 13 Tahun 2003 juga telah diubah dengan UU Cipta Kerja. Hal ini menimbulkan potensi ketidaksinkronan atau ketidakharmonisan antara kedua undang-undang tersebut.
"Bahkan, ancaman tidak konsisten, tidak sinkron, dan tidak harmonis demikian akan semakin sulit dihindarkan atau dicegah dengan telah dinyatakan sejumlah norma dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (inkonstitusional) oleh Mahkamah," ucapnya.
Dengan fakta demikian, terbuka kemungkinan terjadi perhimpitan antara norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 dengan norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dalam UU Nomor 6 Tahun 2023. Perhimpitan ini terjadi karena sejumlah norma dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 berkelindan dengan perubahan materi atau substansi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 yang diubah dalam UU Nomor 6 Tahun 2023.