Oknum TNI Diduga Terlibat Sindikat Penjualan Sisik Trenggiling Ilegal, Sidang Perdana Digelar di Medan
Sidang Perdana Kasus Perdagangan Sisik Trenggiling Libatkan Oknum TNI Digelar di Medan
Kasus dugaan perdagangan ilegal sisik trenggiling yang menyeret dua oknum prajurit TNI, Serka Muhammad Yusuf Harahap dan Serda Rahmadani Syahputra, memasuki babak baru. Sidang perdana dengan agenda mendengarkan keterangan terdakwa digelar di Pengadilan Militer Medan pada Rabu (30/4/2025).
Dalam persidangan tersebut, Ketua Majelis Hakim, Letkol Djunaedi Iskandar, menggali kronologi kejadian dari keterangan Serka Yusuf. Yusuf mengungkapkan bahwa dirinya dihubungi oleh Bripka Alfi Hariadi Siregar, anggota Unit Reskrim Polres Asahan, yang meminta bantuannya untuk menitipkan barang di rumahnya.
"Ipar kami mau ada kunjungan, jadi gudang (di Polres Asahan) mau dibersihkan. Aku boleh titip barang di tempat ipar?" demikian Yusuf menirukan perkataan Bripka Alfi saat memberikan kesaksian.
Setelah sempat ragu, Yusuf akhirnya menyetujui permintaan tersebut karena memiliki kios kosong di depan rumahnya. Saat ditanya mengenai jenis barang yang akan dititipkan, Alfi menyebutkan bahwa barang tersebut adalah sisik trenggiling. Tanpa pikir panjang, Yusuf mengiyakan.
Menurut Yusuf, Bripka Alfi kerap memanggilnya "ipar" meskipun tidak memiliki hubungan darah, melainkan hanya karena kesamaan marga. Pada awal Oktober 2024, Yusuf mengajak Serda Syahputra untuk mengambil sisik trenggiling tersebut dari Polres Asahan sekitar pukul 19.00 WIB.
"Kami masuk pakai mobil Sigra milik saya, dipandu Bripka Alfi," ujar Yusuf kepada hakim Djunaedi. Ia menambahkan bahwa mereka dapat masuk ke area Polres tanpa melalui pemeriksaan dari petugas kepolisian.
Setibanya di gudang penyimpanan barang bukti, Bripka Alfi meminta Syahputra untuk mengambil mobil pikap L300 yang telah berisi tumpukan karung berisi sisik trenggiling. Yusuf melihat ada sekitar 26 karung besar dan 5 karung kecil yang ditutupi terpal. Setelah memindahkan barang, Syahputra mengendarai pikap bersama Alfi, sementara Yusuf mengikuti dari belakang dengan mobilnya sendiri. Alfi memandu mereka keluar dari Polres Asahan melalui rute yang berbeda saat mereka masuk.
Sesampainya di rumah Yusuf, sisik trenggiling dengan berat total 1.178 kg dipindahkan ke kios dan dikunci. Syahputra kemudian kembali ke Polres Asahan. Dua minggu berselang, Yusuf mulai mempertanyakan kepada Syahputra mengapa sisik trenggiling tersebut belum juga diambil dari kiosnya.
Syahputra kemudian menemui Alfi di sebuah warung kopi untuk menanyakan hal yang sama. Alfi menyarankan agar sisik tersebut dijual saja. "Kita jual aja sama orang itu. Kalau laku nanti Rp 600 ribu per kg, Rp 400 sama Kanit, Rp 200 sama kita," kata Syahputra menirukan ucapan Alfi.
Setelah beberapa hari, Syahputra menghubungi temannya bernama Rival untuk mencari pembeli. Dua hari kemudian, Amir Simatupang, kenalan Rival, mengonfirmasi adanya potensi penjualan sisik trenggiling tersebut. Dua minggu kemudian, Amir menginformasikan kepada Syahputra bahwa ada pembeli dari Aceh bernama Alex yang berminat membeli sisik tersebut dengan harga Rp 900.000 per kg.
Syahputra kemudian berencana mengambil keuntungan lebih dengan menyepakati harga Rp 900.000 per kg dengan Alex, namun memberitahu Alfi bahwa harga jualnya hanya Rp 600.000 per kg. Pada 10 November 2024, Amir datang ke rumah Syahputra, dan mereka bertiga mengemas sisik trenggiling ke dalam 9 kardus untuk dikirim ke Aceh.
Namun, saat mereka tiba di loket pengiriman, petugas gabungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Polda Sumut, dan Kodam I Bukit Barisan langsung melakukan penangkapan.