Gelombang PHK Hantui Pekerja Indonesia di Tengah Bayang-Bayang Resesi Global

Ancaman PHK Massal dan Ketidakpastian Upah: Realita Buruh Indonesia di Tengah Resesi Global

Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional, sebuah momen untuk merayakan pencapaian dan merefleksikan perjuangan para pekerja. Namun, perayaan Hari Buruh tahun 2025 di Indonesia terasa berbeda. Di tengah ancaman resesi global yang semakin nyata, ketegangan geopolitik yang berkepanjangan, dan tekanan struktural yang menghimpit perekonomian nasional, kaum buruh Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat. Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, stagnasi upah, dan ketidakpastian masa depan menghantui jutaan pekerja di berbagai sektor.

Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sejak akhir tahun 2024 hingga kuartal pertama 2025, ribuan pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka. Sektor-sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, dan elektronik menjadi yang paling terpukul. Industri-industri ini menghadapi tekanan besar akibat penurunan permintaan global, kenaikan harga bahan baku impor, dan perubahan teknologi yang semakin menggantikan tenaga kerja manusia. Perusahaan-perusahaan mengurangi produksi, merumahkan karyawan, atau bahkan menutup pabrik mereka. Gelombang PHK ini bukan sekadar angka statistik; ini adalah pukulan telak bagi kehidupan jutaan keluarga pekerja. Banyak dari mereka yang harus kembali ke kampung halaman tanpa pekerjaan, atau terpaksa mencari nafkah di sektor informal dengan pendapatan yang jauh lebih kecil.

Akar Permasalahan dan Dampak Resesi pada Buruh

Perlambatan ekonomi Indonesia pada awal tahun 2025 menjadi faktor utama pemicu gelombang PHK. Perlambatan ini disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal dan internal. Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China, terutama setelah penerapan kebijakan tarif oleh pemerintahan sebelumnya, telah menciptakan ketidakstabilan dalam perdagangan global. Harga komoditas unggulan Indonesia seperti batu bara dan CPO mengalami penurunan yang signifikan. Selain itu, suku bunga tinggi di negara-negara maju menghambat aliran investasi ke negara-negara berkembang.

Di sisi internal, ketergantungan ekonomi Indonesia pada sektor primer masih sangat tinggi. Transformasi industri berjalan lambat, dan daya beli masyarakat terus melemah. Kebijakan pengetatan anggaran yang diterapkan pemerintah untuk menjaga defisit fiskal juga berdampak pada terbatasnya stimulus bagi dunia usaha. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi sektor tenaga kerja. Banyak perusahaan, terutama di sektor manufaktur, terpaksa mengurangi produksi atau bahkan menghentikan operasional mereka. Buruh kontrak menjadi kelompok pertama yang terkena dampak, namun tidak sedikit pula buruh tetap yang dirumahkan tanpa kejelasan mengenai status mereka.

Perlindungan Buruh yang Rawan dan Dampak UU Cipta Kerja

Struktur ketenagakerjaan di Indonesia masih sangat rapuh, membuat buruh menjadi kelompok yang paling rentan dalam setiap krisis ekonomi. Lebih dari separuh angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor informal, tanpa jaminan perlindungan kerja, upah tetap, atau akses ke asuransi. Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020 juga dinilai membuka celah bagi fleksibilitas tenaga kerja yang berlebihan. Banyak perusahaan yang memanfaatkan celah ini dengan mempekerjakan buruh kontrak yang mudah diberhentikan tanpa kewajiban membayar pesangon yang besar. Selain itu, banyak buruh yang tidak terorganisir dalam serikat pekerja atau memiliki keterbatasan dalam bernegosiasi dengan perusahaan, sehingga posisi mereka semakin lemah.

Respon Kebijakan dan Langkah Strategis ke Depan

Sinyal-sinyal ancaman resesi sebenarnya sudah terlihat sejak akhir tahun 2023, namun respons kebijakan pemerintah masih bersifat reaktif. Jaring pengaman sosial dan stimulus bagi sektor-sektor padat karya belum disiapkan secara optimal. Krisis ini seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi kebijakan ketenagakerjaan dan pembangunan ekonomi nasional. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:

  • Memperkuat perlindungan sosial bagi buruh: Memperluas cakupan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), mempercepat pemberian bantuan tunai sementara, dan meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan dan pelatihan kerja.
  • Merevisi kebijakan ketenagakerjaan yang timpang: Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan UU Cipta Kerja secara terbuka. Mengkaji ulang kepastian hukum, hak pesangon, dan batasan sistem outsourcing.
  • Menstimulus sektor padat karya: Memberikan insentif pajak atau subsidi gaji bagi perusahaan yang mempertahankan pekerja. Memperluas program padat karya infrastruktur untuk menyerap tenaga kerja informal.
  • Transformasi industri berbasis manusia: Mengimbangi digitalisasi dan otomatisasi dengan investasi besar-besaran dalam pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan kompetensi buruh. Meningkatkan pelatihan vokasi yang relevan dengan kebutuhan industri.
  • Mengembangkan ekonomi lokal dan ekonomi hijau: Memanfaatkan potensi sektor pertanian, perikanan, pariwisata lokal, dan energi terbarukan untuk menyerap tenaga kerja dengan pendekatan yang lebih berkelanjutan.

Suara Buruh dan Harapan akan Masa Depan yang Lebih Baik

Di tengah tekanan ekonomi yang berat, suara buruh sering kali terpinggirkan. Dalam berbagai aksi unjuk rasa menjelang Hari Buruh 2025, para buruh menyuarakan tiga tuntutan utama: kenaikan upah minimum yang realistis dan adil, penghapusan sistem outsourcing yang eksploitatif, dan penegakan hukum ketenagakerjaan tanpa diskriminasi. Di balik tuntutan-tuntutan tersebut, tersimpan mimpi sederhana akan kehidupan yang layak, masa depan yang pasti, dan pengakuan atas kontribusi buruh dalam membangun ekonomi bangsa. Krisis memang membawa penderitaan, namun juga membuka peluang untuk berubah. Nasib buruh Indonesia ke depan sangat bergantung pada arah kebijakan yang diambil saat ini. Apakah negara hadir untuk melindungi yang lemah, atau justru membiarkan mereka tersingkir oleh arus pasar? Hari Buruh 2025 seharusnya menjadi titik balik menuju ekonomi yang lebih adil, inklusif, dan berkeadilan sosial. Buruh bukan beban pembangunan, melainkan tulang punggung bangsa. Sudah saatnya negara membalas jasa mereka dengan kebijakan nyata, bukan hanya janji kosong.