Prabowo Janjikan Penghapusan Outsourcing, MK Tekankan Perlunya Landasan Hukum yang Jelas

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan komitmennya untuk menghapuskan sistem outsourcing atau alih daya di Indonesia. Janji ini diungkapkan pada peringatan Hari Buruh yang berlangsung di Lapangan Monas, Jakarta, pada Kamis, 1 Mei 2025. Langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan bagi para pekerja.

Sebagai realisasi komitmen tersebut, Prabowo berencana membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional. Lembaga ini akan bertindak sebagai penasihat presiden dalam merumuskan kebijakan terkait ketenagakerjaan, termasuk hak-hak dan perlindungan pekerja. "Sebagai hadiah untuk kaum buruh hari ini, saya akan segera membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional," tegas Prabowo.

Tugas utama dewan ini adalah mengkaji dan merumuskan mekanisme transisi yang tepat menuju penghapusan sistem outsourcing. Prabowo menekankan bahwa penghapusan ini harus dilakukan secara bertahap dan mempertimbangkan iklim investasi di Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa keberlangsungan investasi sangat penting untuk menciptakan lapangan kerja dan menjaga stabilitas ekonomi. Oleh karena itu, setiap langkah yang diambil harus dipertimbangkan secara matang agar tidak merugikan investor dan tetap melindungi hak-hak pekerja.

Sebelum janji Prabowo ini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan perhatian khusus terhadap regulasi outsourcing. MK menegaskan bahwa aturan terkait outsourcing harus diatur secara jelas dalam undang-undang untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pekerja alih daya. Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyampaikan hal ini dalam pertimbangan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja terkait klaster alih daya yang diajukan oleh Partai Buruh dkk.

MK berpendapat bahwa undang-undang harus secara eksplisit menyatakan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan dalam perjanjian outsourcing. Dengan adanya aturan yang jelas, semua pihak yang terlibat dalam perjanjian outsourcing akan memiliki standar yang sama mengenai jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan. Hal ini akan memberikan perlindungan hukum yang adil bagi pekerja terkait status kerja dan hak-hak dasarnya, seperti upah, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang layak.

MK menyoroti bahwa Pasal 64 dalam Pasal 81 angka 18 UU Nomor 6 Tahun 2023 yang mengubah Pasal 64 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak secara jelas mengatur mengenai penyerahan sebagian pekerjaan alih daya. Selain itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 yang merupakan aturan turunan dari UU tersebut juga tidak mengatur ketentuan outsourcing secara rinci. Oleh karena itu, MK meminta menteri yang berkaitan dengan ketenagakerjaan untuk memperjelas aturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik outsourcing pada peraturan undang-undang.

Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Penghapusan outsourcing harus dilakukan secara bertahap.
  • Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional akan dibentuk untuk mengkaji dan merumuskan mekanisme transisi.
  • MK menekankan perlunya aturan yang jelas dalam undang-undang mengenai jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan.
  • Perlindungan hukum bagi pekerja alih daya harus diutamakan.