Sikat Gigi Saat Puasa: Tinjauan Hukum dan Pendapat Ulama
Sikat Gigi Saat Puasa: Tinjauan Hukum dan Pendapat Ulama
Menjaga kebersihan diri, termasuk kebersihan mulut, merupakan aspek penting dalam ajaran Islam. Rasulullah SAW sendiri menganjurkan umatnya untuk bersiwak, sebuah praktik yang analog dengan sikat gigi modern. Hadits riwayat Bukhari, "Aku sering menganjurkan kalian untuk menggosok gigi," menunjukkan anjuran tersebut. Riwayat Muslim yang lain menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memulai aktivitas di rumahnya dengan bersiwak, menunjukkan praktik ini sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari beliau.
Namun, muncul pertanyaan krusial di kalangan umat Islam: Apakah menyikat gigi selama berpuasa membatalkan puasa? Pertanyaan ini muncul karena tindakan menyikat gigi melibatkan memasukkan sesuatu ke dalam rongga mulut, sebuah tindakan yang dapat dikaitkan dengan potensi pembatalan puasa. Hukum ini pun menjadi perdebatan di antara para ulama, menghasilkan berbagai pendapat yang perlu dipahami secara komprehensif.
Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Sikat Gigi Saat Puasa
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan mazhab fikih mengenai hukum menyikat gigi selama berpuasa. Ali Musthafa Siregar dalam bukunya Fikih Puasa menyatakan bahwa sikat gigi, sama halnya dengan bersiwak, tidak makruh dilakukan antara waktu Subuh hingga sebelum Zuhur. Namun, melakukannya setelah Zuhur hingga Magrib hukumnya makruh. Pendapat berbeda dikemukakan oleh ulama Syafi'iyah. Mereka berpendapat bahwa menyikat gigi saat puasa hukumnya makruh, khususnya setelah matahari tergelincir. Pendapat ini didasarkan pada interpretasi kitab At-Tadzhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib karya Musthafa Dib Al-Bugha dan penjelasan Kitab Matan Abu Syuja', yang berargumen bahwa larangan ini bertujuan untuk menjaga bau mulut khas orang yang berpuasa.
Sebaliknya, mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa menyikat gigi saat puasa tidak membatalkan puasa. Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim dalam Kitab Fiqh as-Sunnah li An-Nisa' berargumen bahwa jika hal tersebut dilarang, Rasulullah SAW pasti akan menjelaskannya secara eksplisit. Ketidakhadiran larangan yang jelas dalam hadits dan praktik para sahabat, menurutnya, menunjukkan kebolehan tersebut.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Zadul Ma'ad menambahkan bahwa ulama sepakat tentang kebolehan berkumur bagi orang yang berpuasa, bahkan berkumur dianggap lebih mendalam daripada bersiwak. Ia menekankan bahwa Allah SWT tidak menghendaki hamba-Nya mendekatkan diri dengan bau mulut yang tidak sedap, menunjukkan bahwa kebersihan tetap penting selama berpuasa. Hadits mengenai keharuman bau mulut orang yang berpuasa, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA ("Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak misik (kasturi)"), harus dipahami sebagai dorongan semangat, bukan pembenaran untuk mengabaikan kebersihan.
Kesimpulan
Perbedaan pendapat ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang komprehensif dan kontekstual terhadap hukum Islam. Bagi yang ragu, konsultasi dengan ulama atau referensi fikih yang terpercaya sangat disarankan. Kebersihan diri tetap dianjurkan, namun perlu dipertimbangkan waktu dan pendapat ulama yang relevan dengan praktik tersebut.
Catatan: Wallahu a'lam bis-shawab.