Investasi Energi BRICS: China Terus Gelontorkan Dana untuk Proyek Batu Bara Meski Ada Janji Penghentian

China Terus Danai Proyek Batu Bara di Negara BRICS, Langgar Komitmen Global?

Sebuah analisis terbaru dari think tank Global Energy Monitor (GEM) mengungkap bahwa China masih aktif mendanai proyek-proyek batu bara baru di negara-negara BRICS, meskipun telah membuat komitmen publik pada tahun 2021 untuk menghentikan pembiayaan proyek-proyek tersebut di luar negeri. Temuan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen China terhadap transisi energi global dan dampaknya terhadap upaya kolektif untuk mengatasi perubahan iklim.

Laporan GEM menyoroti bahwa China terlibat dalam pembangunan proyek batu bara baru dengan total kapasitas 7,7 Gigawatt (GW). Sebagian besar dari kapasitas ini digunakan untuk mendukung operasional smelter nikel di Indonesia. Keterlibatan China dalam proyek-proyek ini menggarisbawahi peran pentingnya dalam lanskap energi BRICS, sekaligus menyoroti potensi dampaknya terhadap lingkungan.

BRICS, yang awalnya didirikan oleh Brasil, Rusia, India, dan China pada tahun 2009, telah berkembang menjadi blok ekonomi yang signifikan, mencakup sekitar seperempat ekonomi global dan menyumbang setengah dari emisi karbon dioksida global. Meskipun beberapa negara anggota BRICS, seperti Brasil, India, dan China, telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam penerapan energi terbarukan, anggota dan mitra terbaru, termasuk Nigeria, Kazakhstan, dan Indonesia, masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat. Ketergantungan ini seringkali didukung oleh investasi dan pembiayaan dari China.

James Norman, manajer proyek Global Integrated Power Tracker dari GEM, memperingatkan bahwa investasi berkelanjutan dalam batu bara, gas, dan minyak berisiko menjerumuskan negara-negara ini ke jalur yang salah, menghambat upaya mereka untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Data GEM menunjukkan bahwa sepuluh negara anggota dan mitra BRICS saat ini sedang membangun kapasitas pembangkit listrik dari batu bara, minyak, dan gas sebesar 25 GW, dibandingkan dengan hanya 2,3 GW untuk energi surya dan angin. Selain itu, ada 63 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga gas yang sedang dalam tahap pengembangan.

Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa 62% dari kapasitas pembangkit listrik yang sedang dibangun di sepuluh negara tersebut bergantung pada badan usaha milik negara China untuk pembiayaan, pengadaan, rekayasa, atau konstruksi. Yang lebih mengkhawatirkan, China mendukung 88% dari seluruh pembangkit listrik batu bara baru yang sedang dibangun. Fakta ini menyoroti peran dominan China dalam pengembangan infrastruktur energi di negara-negara BRICS dan implikasinya terhadap emisi global.

Pada tahun 2021, Presiden Xi Jinping berjanji bahwa China tidak akan lagi membantu membangun atau membiayai pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri. Namun, data menunjukkan bahwa setidaknya 26,2 GW kapasitas baru yang didukung oleh China telah dibangun sejak janji tersebut dibuat, menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas komitmen China dan dampaknya terhadap upaya global untuk mengurangi emisi karbon.

Perubahan iklim dijadwalkan menjadi topik utama dalam pertemuan para pemimpin BRICS mendatang di Brasil. Banyak pihak yang menyerukan agar China dan negara-negara lain membuat komitmen yang lebih ambisius dalam mengurangi emisi menjelang KTT Iklim COP 30. Temuan dari laporan GEM ini menambah urgensi pada seruan ini, menyoroti perlunya tindakan segera untuk menghentikan pembiayaan batu bara dan mempercepat transisi ke sumber energi yang lebih bersih.

Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:

  • China masih mendanai proyek batu bara di negara BRICS.
  • Sebagian besar proyek batu bara digunakan untuk smelter nikel di Indonesia.
  • Negara-negara BRICS masih bergantung pada bahan bakar fosil.
  • China mendukung 88% pembangkit listrik batu bara baru yang sedang dibangun.
  • Perubahan iklim menjadi topik utama dalam pertemuan pemimpin BRICS.

Temuan ini menggarisbawahi perlunya transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dalam investasi energi global dan pentingnya bagi negara-negara untuk memenuhi komitmen mereka terhadap transisi energi bersih. Masa depan iklim global bergantung pada tindakan yang diambil saat ini.