Industri Padat Karya di Persimpangan: Antara Gelombang PHK dan Harapan Deregulasi

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda industri padat karya di Indonesia menjadi sorotan utama, menggarisbawahi urgensi intervensi pemerintah untuk menstabilkan sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi. Industri-industri vital seperti tekstil, garmen, alas kaki, furnitur, dan hasil tembakau, yang secara kolektif menyerap jutaan tenaga kerja, kini berjuang menghadapi tantangan kompleks yang mengancam keberlanjutan operasional mereka.

Sektor tekstil dan garmen, sebagai contoh, menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 3 juta pekerja, sementara industri alas kaki mempekerjakan 1 juta orang, sektor furnitur 500 ribu pekerja, dan industri hasil tembakau menopang penghidupan sekitar 6 juta pekerja. Angka-angka ini mencerminkan betapa krusialnya peran industri padat karya dalam menjaga stabilitas ekonomi dan sosial. Namun, kompleksitas regulasi dan beban usaha yang tinggi telah menghambat pertumbuhan dan daya saing sektor ini, memicu gelombang PHK yang mengkhawatirkan.

Menyadari ancaman serius ini, Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan jajaran menteri ekonomi dan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) untuk memprioritaskan penguatan industri padat karya. Langkah konkret yang tengah dipertimbangkan adalah memasukkan sektor ini ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), sebuah inisiatif yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan menarik investasi. DEN juga menekankan perlunya penyederhanaan regulasi dan kemudahan investasi untuk menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi industri padat karya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta W. Kamdani, menyambut baik respons pemerintah terhadap krisis yang melanda industri padat karya. Menurutnya, deregulasi dan penyederhanaan birokrasi, serta fasilitas untuk revitalisasi teknologi industri, adalah langkah-langkah penting untuk memastikan kelangsungan hidup dan pertumbuhan sektor ini. APINDO juga menekankan pentingnya konsultasi berkelanjutan antara pemerintah dan pelaku usaha dalam proses perubahan kebijakan, untuk memastikan implementasi deregulasi yang efektif.

Namun, efektivitas kebijakan pemerintah dalam mendukung industri padat karya juga menjadi perhatian para pengamat ekonomi. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, menekankan pentingnya realokasi anggaran dari sektor yang kurang produktif ke sektor yang lebih produktif, untuk memaksimalkan dampak positif terhadap perekonomian. Ia juga menyoroti perlunya evaluasi mendalam terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan, untuk memastikan bahwa tujuan yang ingin dicapai benar-benar tercapai.

Sebagai respons terhadap meningkatnya angka pengangguran, pemerintah telah merilis delapan kebijakan pendorong ekonomi pada kuartal pertama 2025, yang salah satunya berfokus pada penguatan industri padat karya. Kebijakan-kebijakan ini mencakup pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditanggung pemerintah (DTP) untuk pekerja di sektor padat karya hingga akhir tahun 2025. Selain itu, pemerintah juga mengoptimalkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja yang terkena PHK, serta memberikan diskon 50% atas pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) untuk sektor industri padat karya.

Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendukung industri padat karya dan mengurangi dampak negatif dari gelombang PHK. Namun, keberhasilan upaya ini akan sangat bergantung pada implementasi yang efektif dan koordinasi yang baik antara pemerintah, pelaku usaha, dan para pemangku kepentingan lainnya.

Industri padat karya berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, gelombang PHK mengancam stabilitas ekonomi dan sosial. Di sisi lain, harapan akan deregulasi dan dukungan pemerintah memberikan secercah harapan bagi kebangkitan sektor ini. Masa depan industri padat karya akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah dan pelaku usaha untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada.