LBH Jakarta Ajukan Gugatan Class Action terhadap Pertamina: Menuntut Keadilan dan Transparansi atas Dugaan Pengoplosan BBM

LBH Jakarta Ajukan Gugatan Class Action Terhadap Pertamina: Menuntut Keadilan dan Transparansi Atas Dugaan Pengoplosan BBM

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta secara resmi mengajukan gugatan class action terhadap PT Pertamina (Persero) terkait dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite menjadi Pertamax. Gugatan ini diajukan sebagai respons atas dugaan praktik tersebut yang berlangsung selama periode 2018-2023, dan didasarkan pada ketidakpuasan terhadap penanganan kasus oleh pihak berwenang. Meskipun Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang terkait, LBH Jakarta menilai bahwa penyelidikan yang telah dilakukan belumlah menyeluruh dan transparan. Kurangnya akuntabilitas dan pemulihan kerugian masyarakat menjadi dasar utama langkah hukum ini.

LBH Jakarta menekankan bahwa gugatan class action ini bukanlah upaya untuk mencari sensasi atau kemenangan semata, melainkan untuk memperjuangkan keadilan bagi konsumen yang dirugikan. Selama tujuh hari membuka posko pengaduan, LBH Jakarta menerima 619 laporan dari berbagai penjuru Indonesia. Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, menjelaskan bahwa keadilan dapat terwujud dalam berbagai bentuk, tidak selalu melalui proses persidangan. Ia mencontohkan kasus buruh migran yang dideportasi massal dari Malaysia pada awal tahun 2000-an, di mana LBH Jakarta berhasil memperjuangkan hak-hak mereka melalui jalur alternatif. Dalam konteks kasus Pertamina ini, LBH Jakarta bertujuan untuk mengedukasi masyarakat mengenai hak-hak mereka dan mendorong mereka untuk berani melawan ketidakadilan yang dilakukan korporasi besar.

Salah satu poin penting yang disoroti LBH Jakarta adalah permintaan maaf Pertamina yang dinilai tidak cukup. Fadhil Alfathan berpendapat bahwa permintaan maaf tersebut harus dibarengi dengan upaya nyata untuk memulihkan kerugian yang diderita konsumen akibat dugaan pengoplosan BBM. Lambatnya respon Pertamina dalam menangani kegelisahan publik juga menjadi kritik LBH Jakarta. Menurut Fadhil, Pertamina seharusnya sejak awal membentuk tim investigasi independen untuk mengusut tuntas dugaan tersebut, bukannya hanya membantah isu yang beredar. LBH Jakarta mendesak agar dibentuk tim independen yang beranggotakan pakar, ahli, dan perwakilan masyarakat untuk melakukan investigasi yang transparan dan akuntabel. Hasil investigasi tim independen ini akan menjadi penentu kelanjutan kasus ini. Jika terbukti tidak ada pengoplosan BBM dan hasilnya transparan, maka kasus ini akan dianggap selesai.

Tersangka Dugaan Korupsi Pertamina:

Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus dugaan korupsi Pertamina yang terkait dengan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun. Para tersangka terdiri dari enam petinggi anak usaha atau subholding Pertamina dan tiga broker. Keenam petinggi Pertamina tersebut adalah:

  • Riva Siahaan (Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga)
  • Yoki Firnandi (Direktur Utama PT Pertamina International Shipping)
  • Sani Dinar Saifuddin (Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional)
  • Agus Purwono (VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional)
  • Maya Kusmaya (Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga)
  • Edward Corne (VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga)

Sedangkan tiga broker yang menjadi tersangka adalah:

  • MKAR (beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa)
  • DW (Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim)
  • GRJ (Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak)

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.