Jeritan Buruh di Hari Buruh 2025: PHK Sepihak, Pesangon Tak Layak, dan Pembungkaman Serikat Pekerja

Hari Buruh 2025 diwarnai dengan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat. Para buruh menyampaikan keluh kesah dan tuntutan terkait kondisi kerja yang mereka alami. Isu utama yang disuarakan meliputi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa pesangon yang layak, penundaan masa pensiun, dan larangan berserikat.

PHK Tak Manusiawi dan Pesangon Minim

Tini, seorang buruh wanita berusia 42 tahun, mengungkapkan keprihatinannya atas gelombang PHK yang dianggapnya tidak adil. Ia menilai bahwa kebijakan pemerintah saat ini cenderung menguntungkan perusahaan, sehingga perusahaan dapat bertindak semena-mena terhadap pekerja. Tini mencontohkan kasus pekerja yang telah mengabdi selama puluhan tahun namun hanya menerima pesangon sangat kecil saat di-PHK. Ironisnya, pesangon yang diterima jauh di bawah standar yang seharusnya berdasarkan undang-undang.

"Perusahaan seenaknya mem-PHK dan hanya memberikan pesangon yang jauh dari kata layak," ujarnya dengan nada kecewa.

Penundaan Pensiun: Strategi Perusahaan Menghindari Tanggung Jawab?

Kisah pilu juga datang dari Tiur, seorang buruh berusia 64 tahun yang masih bekerja di sebuah pabrik garmen di Jakarta Utara. Seharusnya, Tiur sudah pensiun sejak usia 58 tahun, namun perusahaan terus menunda masa pensiunnya. Tiur menduga bahwa perusahaan sengaja mengulur-ulur waktu dengan harapan para buruh akan mengundurkan diri secara sukarela, sehingga perusahaan tidak perlu membayar pesangon sesuai dengan masa kerja.

"Mereka menunggu kami menyerah dan mengundurkan diri," kata Tiur.

Tiur mengungkapkan bahwa jika ia mengundurkan diri, pesangon yang akan diterimanya akan jauh lebih kecil dibandingkan jika ia dipensiunkan sesuai aturan. Ia mencontohkan kasus rekannya yang mengundurkan diri dan hanya menerima pesangon di bawah Rp 100 juta, padahal seharusnya menerima lebih dari itu.

Pembungkaman Serikat Pekerja: Hak yang Dirampas

Selain masalah PHK dan penundaan pensiun, Tiur juga mengkritik tindakan perusahaan yang melarang buruh untuk berserikat. Ia mengatakan bahwa buruh yang terlibat dalam organisasi sering kali dihadapkan pada tekanan dan intimidasi. Mereka dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan melebihi target yang ditetapkan, sehingga sulit untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

"Kami tidak bisa berorganisasi. Kalau ikut organisasi, kami ditekan," tegas Tiur.

Para buruh berharap agar pemerintah dapat mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar hak-hak pekerja. Mereka juga mendesak pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang lebih berpihak kepada buruh, sehingga perusahaan tidak dapat bertindak semena-mena dan menciptakan kondisi kerja yang layak dan adil bagi semua.