Pemotongan Bantuan PBB: Nasib Pengungsi Rohingya di Pekanbaru Menggantung

Pemotongan Bantuan PBB: Nasib Pengungsi Rohingya di Pekanbaru Menggantung

Krisis kemanusiaan mengancam sekitar seribu pengungsi Rohingya di Pekanbaru, Riau. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), salah satu badan PBB, telah resmi memangkas bantuan kesehatan dan ekonomi bagi para pengungsi tersebut, efektif 5 Maret 2025. Keputusan ini diumumkan melalui surat resmi IOM pada 28 Februari 2025, yang menyatakan pemotongan bantuan disebabkan oleh keterbatasan sumber daya akibat penghentian pendanaan dari Amerika Serikat terhadap lembaga-lembaga bantuan luar negeri. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap kehidupan para pengungsi yang telah lama menggantungkan hidup pada bantuan tersebut.

Pemotongan bantuan ini dikonfirmasi oleh Chris Lewa, direktur Arakan Project, sebuah organisasi kemanusiaan yang fokus pada isu Rohingya. Lewa menyatakan bahwa IOM telah mengkonfirmasi kepadanya bahwa pemotongan dana berasal dari Amerika Serikat. Hingga saat ini, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta belum memberikan pernyataan resmi terkait hal ini. Dampak pemotongan bantuan ini sangat signifikan bagi para pengungsi, mengingat mereka dilarang bekerja di Indonesia dan bantuan dari IOM merupakan satu-satunya sumber pendapatan mereka. Abdu Rahman, seorang pengungsi Rohingya berusia 26 tahun di Pekanbaru, mengungkapkan bahwa bantuan tunai bulanan yang diterima sebelumnya mencapai 61,24 US Dollar atau sekitar satu juta rupiah per orang. Hilangnya bantuan ini tentu akan mengancam keberlangsungan hidup mereka.

Situasi ini telah menimbulkan kecemasan di kalangan pengungsi. Mereka telah diberitahu oleh IOM bahwa bantuan tunai tidak akan lagi diberikan. Kehilangan sumber pendapatan utama ini berpotensi memicu berbagai masalah sosial, termasuk peningkatan ketegangan antara pengungsi dan masyarakat setempat. Pemerintah Kota Pekanbaru, melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), tengah berupaya mencari solusi dengan menjalin kerja sama dengan organisasi-organisasi non profit lokal untuk mencegah potensi kerusuhan. Hadi Sanjoyo, Plt. Kepala Kesbangpol Pekanbaru, menekankan pentingnya pendekatan kemanusiaan dalam menghadapi situasi ini, meskipun mengakui adanya tantangan dan pertimbangan kepentingan nasional.

Indonesia, yang belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi, dihadapkan pada dilema. Meskipun memiliki landasan hukum positif dalam penanganan pengungsi dengan mengacu pada hukum internasional, beberapa pasal dalam konvensi tersebut, seperti pemberian hak untuk bekerja, memiliki rumah, dan akses pendidikan, masih dianggap berat untuk diterapkan mengingat kepentingan nasional. Situasi ini menyoroti kompleksitas masalah pengungsi Rohingya di Indonesia, yang membutuhkan solusi komprehensif dan kolaboratif antara pemerintah, lembaga internasional, dan organisasi kemanusiaan untuk memastikan perlindungan dan kesejahteraan para pengungsi.

Poin-poin penting:

  • IOM memangkas bantuan kesehatan dan ekonomi untuk 925 pengungsi Rohingya di Pekanbaru.
  • Pemotongan bantuan disebabkan oleh keterbatasan dana akibat penghentian pendanaan dari AS.
  • Bantuan tunai sebesar 61,24 USD (sekitar satu juta rupiah) per orang merupakan satu-satunya sumber pendapatan para pengungsi.
  • Pemerintah Kota Pekanbaru berupaya mencari solusi melalui kerja sama dengan organisasi non profit.
  • Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi, menimbulkan tantangan dalam penanganan pengungsi.
  • Potensi konflik sosial antara pengungsi dan masyarakat setempat meningkat.