Menelisik Hakikat Spiritual: Refleksi atas Keimanan dan Kesucian Diri
Merenungi Hakikat Spiritual dalam Kehidupan Modern
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang semakin kompleks, seringkali kita terlena dan melupakan hakikat spiritual yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam menjalani kehidupan. Kita menyadari bahwa jasad ini berasal dari tanah, namun seringkali lebih mengagungkan aspek duniawi daripada ruh yang merupakan anugerah dan rahasia kemuliaan dari Sang Pencipta. Al-Qur'an mengingatkan kita dalam surah al-Hijir ayat 29, tentang perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam setelah ditiupkan ruh ke dalamnya. Perintah ini adalah simbol penghormatan terhadap manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan kesempurnaan.
Kisah penciptaan Adam dan penolakan Iblis menjadi pelajaran berharga tentang watak berbagai makhluk ciptaan-Nya. Malaikat, dengan ketaatan mutlaknya, menjadi pengawal dan pengatur bumi atas izin Allah. Manusia, dengan dualitas jasmani dan ruhani, memiliki potensi untuk memanfaatkan bumi dengan pengetahuan yang diberikan. Namun, hakikat penciptaan manusia adalah tunduk dan taat kepada Sang Pencipta. Ruh adalah inti dari keberadaan kita, bukan sekadar tanah liat dan lumpur hitam. Sama halnya dengan lahir dan batin, di mana lahir mungkin melaksanakan perintah-Nya, namun batin belum tentu ikhlas sepenuhnya.
Ujian Batin dan Kerasnya Hati
Batin kita terus menerus diuji dalam kehidupan yang semakin kompleks ini. Godaan duniawi datang bertubi-tubi, berusaha memadamkan cahaya ketakwaan dalam hati. Kegelapan yang menyelimuti dapat mengeraskan hati kita, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 74. Ayat ini menggambarkan bagaimana hati kaum Yahudi menjadi keras setelah menyaksikan bukti-bukti kekuasaan Allah, bahkan lebih keras dari batu yang memancarkan sungai dan mata air. Hati yang keras tidak mampu memancarkan setitik pun cahaya ketakwaan.
Kondisi umat saat ini menunjukkan pemahaman yang kurang mendalam tentang agama, yang seharusnya menjadi ruh keberadaan kita. Kita seringkali terpaku pada simbol-simbol dan formalitas, melupakan esensi dari ajaran agama itu sendiri. Padahal, inti dari agama Islam adalah pensucian hati dan pembersihan diri. Firman Allah dalam surah asy-Syam ayat 9 dan 10 menegaskan bahwa beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya.
Mensucikan Jiwa dan Menemukan Keimanan
Mensucikan jiwa berarti membersihkannya dari segala kekotoran seperti syirik, kufur, takabur, iri, dengki, kikir, dan tamak. Kemudian menghiasinya dengan sifat-sifat baik seperti iman, ikhlas, sabar, dan syukur. Orang yang mensucikan jiwanya adalah orang yang telah memahami hakikat kehidupan, tahu mana tujuan dan mana alat untuk mencapai tujuan tersebut. Jika seseorang belum mencapai tingkatan ini, maka ia seperti seorang murid yang menerima bimbingan seorang guru, namun tidak mendengarkan nasihatnya. Allah mengingatkan kita dalam surah al-A'raf ayat 51 tentang orang-orang yang menjadikan agama sebagai kelengahan dan permainan, serta tertipu oleh kehidupan dunia. Mereka akan dilupakan pada hari kiamat karena melupakan pertemuan dengan Allah dan mengingkari ayat-ayat-Nya.
Inti dari semua ini adalah menemukan kunci kepribadian umat, yaitu keimanan. Keimanan kepada Islam yang sejak semula telah menjadikan umat ini sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Marilah kita berdoa agar Allah senantiasa menjaga keimanan kita dan para pemimpin kita, sehingga kita dapat menjalankan amanah sebagai hamba-Nya dengan sebaik-baiknya.